Bencana dan Tanggung Jawab Kader Eksakta
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 22.468 kejadian bencana dalam kurun 2020 hingga 2024, didominasi bencana hidrometeorologi yang terus menunjukkan tren peningkatan. Hingga 5 Desember 2025 saja, sudah 3.012 kejadian bencana terjadi di seluruh wilayah negara ini. Data tersebut memperkuat asumsi bahwa Indonesia memiliki kerentanan tinggi dalam peta risiko bencana di wilayah Asia Pasifik.
Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera bagian barat dan bagian utara di pengujung 2025 menjadi peringatan tanda bahaya bagi seluruh pihak, kapan pun dan dimana pun berada. tanpa terkecuali. Sepekan sebelumnya, publik dikejutkan dengan erupsi Gunung Semeru sebagai paku bumi Pulau Jawa. Gelombang besar juga mengancam kehidupan nelayan dan mengganggu distribusi barang pada jalur laut di daerah kepulauan di kawasan timur Indonesia. Bencana tersebar di seluruh wilayah dengan berbagai jenis dan skala.
Risiko bencana kian meningkat dalam empat dekade belakangan seiring dengan intensitas perubahan iklim sejak revolusi industri lahir dan berkembang. Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menyepakati metode pengendalian perubahan iklim melalui dua cara: aksi mitigasi sebagai upaya mencegah atau mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan aksi adaptasi sebagai upaya mencegah dampak buruk yang ditimbulkan seperti bencana alam, krisis pangan dan sebagainya.
Tugas Kader Eksakta
Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab utama pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak korban, serta mengalokasikan dana. Pemangku kepentingan lain meliputi organisasi kemasyarakatan (termasuk pemuda dan mahasiswa), lembaga keagamaan, pelaku usaha, media massa, dan lembaga Pendidikan, dapat berperan aktif dalam pencegahan, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi (Pasal 5 – 33, UU No. 24 tahun 2007).
Masyarakat sebagai individu maupun organisasi dapat mengambil peran dalam perencanaan, pelaksanaan, penyediaan relawan, pengawasan, dan peningkatan kapasitas. Lembaga usaha dapat bantuan teknis, logistik, keuangan, dan pelatihan, serta membangun kemitraan. Media massa dan lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam memberikan edukasi, sosialisasi serta menghimpun dan menyebarluaskan informasi.
Mahasiswa tidak boleh berpangku tangan. Stok pengetahuan yang dihimpun dan dipelajari harus segera direformulasi menjadi instrumen kerja untuk mengabdi, pada ibu pertiwi yang diintai ancaman bencana setiap hari. Generasi muda yang menekuni program studi sains dan teknologi memiliki kesempatan lebih besar untuk mengaplikasikan ilmu yang dipelajari dari ruang perkuliahan, bimbingan dari para ahli, dan dibaca dari buku.
Teknologi tepat guna menjadi salah satu produk aplikasi pengetahuan yang harus segera diproduksi intelektual muda, tanpa perlu menunggu gegap gempita perayaan wisuda. Aksi adaptasi perubahan iklim, khususnya pengendalian dampak bencana alam, akan lebih efektif jika semakin banyak komunitas dibekali teknologi terapan sederhana tersebut. Melindungi nyawa jutaan masyarakat dan kelompok rentan dari ancaman bencana adalah tugas sejarah maha mulia para kader eksakta.
Intelektual muda yang berorganisasi dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), terutama mereka yang belajar ilmu eksakta, dapat memperkuat komitmen dan mengasah kapabilitas untuk turun gelanggang dalam jihad sosial dan ekologis tersebut sejak dini. Lahirnya Forum Komunikasi Eksakta (FKE) sebagaimana digagas PMII Cabang Kota Malang sejak 25 tahun silam menjadi modal sosial yang berharga untuk dioptimalkan perannya.
Intelektual Organik
Muhasabah bencana dan harapan peran kader eksakta di atas melampar ingatan pada fatwa pemikir kenamaan asal Italia, Antonio Gramsci (1891–1937) yang mempopulerkan gagasan monumental organic intellectuals. Ia menjelaskan bahwa makna dasar intelektualitas adalah pengamalan fungsi, aplikasi manfaat dan penyebarluasan maslahah di tengah masyarakat. Gramsci menilai intelektual organik lahir dari dalam kelas sosial tertentu dan mengorganisasi kesadaran kolektif kelas tersebut.
Kader eksakta, sebagaimana kader Rayon PMII Galileo, memiliki kesempatan besar menjadi pengamal fatwa tersebut secara murni dan konsekuen, kaffah dan paripurna, sejak masih menempuh pendidikan sebagai mahasiswa sekaligus aktif berorganisasi. Perhatian khusus pada pengendalian bencana menjadi arena strategis fokus pergerakan.
Gerakan mahasiswa transformatif adalah perpaduan antara intelektual organik dalam suatu gerakan organik yang luas, bukan sekadar menjadi penyeru moral episodik dan perpanjangan tangan elit politik. (Hadi Prayitno)
Recent Posts
MERAWAT ASA GERAKAN PENCERAHAN
Sepekan belakangan, di pengujung November 2025, saya tidak membuka gawai untuk mengistarahatkan wadak yang menggugat…
Apakah Benar Pesantren Mencerminkan Feodalisme? – NgajiGalileo#3
Pernahkah kamu berpikir, bagaimana sebenarnya sistem sosial di pesantren terbentuk? Mengapa pola hubungan antara kiai…
Berorganisasi Menciptakan Holopis Kuntul Baris
10 September 2025, NGAJI GALILEO Part #1 diselenggarakan, awal untuk membuka semangat baru untuk mempertemukan…
Menyuarakan Gagasan di Era Digital: Teknik Podcast yang Efektif via Zoom
Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam dunia komunikasi, pendidikan, dan penyebaran informasi. Salah…
Mahasiswa Perlu Organisasi(?) – Ngaji Galileo September 2025
Hari ini, ahli-ahli mengatakan bahwa organisasi tak penting. Namun, mengapa? Tokoh bangsa kebanyakan lahir dari…
Inovasi Teknologi Terkini dalam Mengatasi Dampak Gas Air Mata
Penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan di berbagai negara banyak dipakai sebagai alat pengendalian…