Categories: News

Nyawa Tenaga Surya

Reading Time: 2 minutes

Pandemi global, Covid-19 berlangsung setahun dan belum bisa disebut aman. Termasuk di tanah air kita tercinta, bumi nusantara, Indonesia. Berarti termasuk di Bojonegoro, yang acapkali memasuki status gawat. Pemerintah menyebutnya, zona merah. Vaksin sudah banyak ditemukan dan tuntas uji coba. Secara simbolik, pucuk pimpinan sudah divaksinasi dan ditunjukkan ke publik.

Namun, hingga hari ini, rakyat biasa belum satupun merasakan vaksin tersebut, meski para tokoh sentral sudah dua kali divaksin. Menunggu vaksin gratis belum dipastikan tanggalnya. Membeli yang berbayar belum disediakan outlet dan petugasnya juga belum diumumkan. Entah jika membeli vaksin gratis, belum muncul pemberitaan soal ini. Tapi sepertinya berpotensi muncul, suatu saat nanti.

Penghidupan, yang oleh ahli disebut sektor ekonomi semakin terseok, beberapa terjerembab kesulitan bangkit. Kecuali mereka para pegawai, karyawan tetap dan bergaji stabil. Mereka tetap bergaji, meski kadang kerja, kadang di rumah, sesekali bekerja di rumah. Selebihnya sempoyongan. Sekaligus menunjukkan traumatik ibarat bogem mentah bagi mereka yang hendak terjun menjadi wirausahawan.

Korban pandemi bertumbangan, semakin dekat menyerang. Dan kadang teman dekat telah terinfeksi. Meski sebagian ngotot menyatakan tidak percaya, sembari berharap Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19 dari pemerintah mendarat di rumahnya. Kalau bisa dobel dari sejumlah sumber, diterima bergantian dan rutin. Tetap kenyang sembari ongkang-ongkang kaki memelototi berita tentang vaksin yang tak kunjung datang.

Suatu ketika, pada sebuah siang yang redup, terdapat suara senda gurau. Terlihat sejumlah orang berkumpul dengan jarak yang kurang mengakrabkan dan bermasker dobel-dobel menutupi separuh wajahnya. Salah satu diantaranya, baru saja dinyatakan sembuh dari virus yang mematikan tersebut. Terlihat seolah diwawancara teman lainnya. Diberondong beribu pertanyaan, diminta testimoninya. Tentang apa? Tentang pengalaman berjibaku dengan maut. Melawan virus dalam kesendirian yang pilu.

“Obat yang diminum apa saja?” salah satu pertanyaan yang meluncur.

“Ya apa saja, sesuai gejala yang muncul,” jawabnya singkat.

“Berapa hari isolasi?”

“Dua kali empat belas hari,”

“Kok lama?”

“Meski dinyatakan sembuh. Sebenarnya virus akan benar-benar mati pada kisaran 3 bulan,” terang penyintas itu yang mendapat reaksi beringsutnya tempat duduk berlahan menjauh.

“Tiap pagi berjemur?” kembali seseorang berceletuk.

“Itu menu wajib. Ibaratnya, sebagian nyawa kita dari tenaga surya,”

“Sinar matahari pagi jadi menu wajib?”

“Tidak itu saja. Termasuk rokok Surya, juga.” pungkas penyintas itu sembari menyulut rokok kretek buatan Kediri, yang direspon nyengir sejumlah teman yang akhirnya mengakhiri serbuan pertanyaan terhadap dirinya.

Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Mustakimra

NgajiGalileo

Recent Posts

7 Pantun Indra Jegel: Menyatukan Medan, Melayu, dan Kearifan Lokal dalam Lantunan Rima

Pantun, sebagai bentuk puisi tradisional, selalu punya tempat di hati masyarakat Melayu. Tapi, siapa sangka…

39 menit ago

Menemukan Makna Sejati: Panduan Praktis Menemukan MENGAPA dalam Hidup dan Karier

Dalam kehidupan dan karier, banyak orang merasa terjebak dalam rutinitas tanpa memahami alasan mendasar mengapa…

9 jam ago

Review Buku Diet & Detoks Gadget: Dampak Penggunaan Gadget untuk Kesehatan Digital Keluarga

Gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Mulai dari komunikasi, hiburan, hingga pekerjaan,…

3 hari ago

Telaah Kritis Buku Filosofi Teras Karya Henry Manampiring

Dalam dunia yang terus bergerak cepat dengan segala tantangan kehidupan modern, seringkali kita mencari pegangan…

5 hari ago

Kata-Kata Lucu Indra Jegel: Hiburan Ringan yang Mengocok Perut

Siapa yang tidak kenal dengan Indra Jegel? Komika asal Medan ini telah berhasil mencuri hati…

1 minggu ago

11 Kata Lucu Mahasiswa Bikin Ketawa Ngakak Semasa Kuliah

Cerita dunia mahasiswa emang gak ada habis-habisnya. Masa pertama kuliah hingga menjelang lulus akan selalu…

2 minggu ago