Reading Time: 3 minutes
Judul : Mengais Keteladanan dari Kiai Syansuri Badawi
Penulis : Cholidi Ibhar
Penerbit : Pustaka Tebuireng, Jombang
Cetakan : I, September 2017
Tebal : xi + 120 halaman
ISBN : 978-602-8805-54-4
Peresensi : fauzing04
Resensi Buku Mengais Keteladanan dari Kiai Syansuri Badawi
Kiai Syansuri Badawi sosok yang dirindukan dan patut menjadi suri tauladan. Untuk mendapatkan informasi mengenai sosok beliau, penulis mendapatkan tantangan yang sangat luar biasa, dikarenakan minimnya literasi yang membahas tentang Kiai Syansuri.
Hal tersebut, yang melandasi penulis untuk memberikan buku ini dengan judul “Mengais Keteladanan dari Kiai Syansuri Badawi”.
Kehadiran buku ini merupakan oase dalam khasanah keilmuan otobiografi dari sosok Kiai yang menjaga tradisi tanpa melupakan modernitas. Menjaga tradisi disini bisa diartikan dari kebiasaan beliau yang senantiasa menggunakan sarung, jasko, dan peci plus sorban dalam segala aktifitas.
Meskipun saat beliau menjabat sebagai anggota DPR RI, maupun menjadi rektor di Universitas Hasyim Asy’ari Jombang. Dan, modernitas disini dalam artian paradigma berpikir beliau. Seperti dalam menggunakan metode pembelajaran yang beliau lakukan senantiasa juga memberikan elaborasi pada kitab kuning, contohnya “zelfstanding” (merdeka), “self convidence” (percaya diri), dan seterusnya.
Tentunya tujuan beliau agar santri tidak hanya sekedar alim saja. Namun juga piawai dalam membaca lingkungan, sehingga nantinya para santri tersebut mampu secara holistik dalam penguasaan masalah yang ada di masyarakat.
“Anak-anakku, coba perhatikan santri-santri terdahulu yang kini telah banyak menjadi ‘orang’! Kehadiran mereka bermanfaat di tengah-tengah masyarakat dan menempati kedudukan terhormat. Banyak pula yang menjadi kiai. Mereka memiliki himmah (obsesi) saat di pesantren. Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah semangat mereka dalam thalab al-‘ilm (mencari ilmu). Mereka fokus thalab al-‘ilm dan hal itu secara sungguh-sungguh di jalankan. Mereka tidak peduli kelak bakal menjadi apa atau siapa. Semua itu mengikuti ketekunan dan riyadhah di pesantren,” nasihat Kiai Syansuri. (Hal. 12-13)
Keteladanan Kiai Syansuri Badawi
Ketekunan merupakan modal utama santri di pesantren, selain keilmuan dan karamah dari para ulama. Seperti pesan Kiai Syansuri pada halaman 58, “Dan jangan lupa, ketekunan itu tidak bisa di beli di toko dan memang tidak ada yang menjualnya. Ketekunan itu melekat dan tumbuh dari dalam diri kalian semua”.
Seperti diketahui Kiai Syansuri adalah sosok motivator yang ulung, peranannya dalam memberi semangat dan di ikuti rasa yang kuat untuk mendorong santri berjalan di jalur yang benar dalam thalab al-‘ilm. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman beliau tentang pentingnya ketekunan dalam mencari ilmu. Serta di tunjang dengan pemahaman beliau akan situasi geopolitik nasional.
Seperti kutipan otentik Presiden ke-4 RI yang akrab dipanggil dengan Gus Dur, ”Kita Butuh Islam Ramah, dan Bukan Islam Marah”, Ucapan yang keluar dari Gus Dur, yang sejatinya telah di terapkan oleh Kiai Syansuri dalam berinteraksi dengan santrinya.
Penulis yang juga sebagai santri Kiai Syansuri dalam salah satu bab nya yang berjudul “Tak Pernah Memarahi Santri” tersebut, menceritakan dengan jelas saat beliau nyantri di Tebuireng dan mengetahui bagaimana Kiai merupakan sosok yang jauh dari pribadi pemarah.
Kiai Syansuri jatuh cinta pada Tebuireng, bahkan menganggap Tebuireng tidak lagi sekadar entitas fisik atau nama wilayah.
Lebih dari itu, Tebuireng merupakan Manhaj al Fikr, yang dalam artian sebagai metode berpikir bagi santri Tebuireng. Tentunya sebagai manhaj, terdapat tiga pokok landasan utama yang terdapat dalam Tebuireng yang sangat mendasar, secara substansialistik tersirat dalam Resolusi Jihad, termuat dalam qanun asasi NU dan terurai dalam Irshad as-Sari.
Tentu saja, fenomena itu tidak boleh di anggap sepele dan perlu memperoleh perhatian yang serius. Menjadi keharusan pemangku kuasa Pesantren Tebuireng untuk meresponnya sebelum terlambat membendungnya. Tebuireng itu Hadratussyaikh dan hadratussyaikh personifikasi Resolusi Jihad, qanun asasi NU, dan Irsyad as-Sari. Inilah Tebuireng sebagai manhaj al-fikr yang seharusnya menjadi acuan santri-santri Tebuireng dan sekaligus parameter menilai kadar ke-Tebuirengan-nya. (Hal. 117)
Pesan Gus Sholah
KH. Salahuddin Wahid selaku Pengasuh Pesantren Tebuireng menyebutkan dalam pengantarnya bahwa “Tidak mudah untuk menulis buku itu. Hanya keinginan dan kuat dan kerja keras, kita bisa mewujudkannya.”
Hadirnya penerbit Pustaka Tebuireng, salah satu tujuannya adalah memperkaya tentang literasi kiai-kiai terdahulu, terutama yang pernah menimba ilmu di Pesantren Tebuireng dengan segala perjuangan dan keikhlasan dalam mendedikasikan keilmuannya untuk generasi bangsa yang lebih baik.
Buku yang berisi 40 tulisan pendek ini, akan mengantarkan kepada setiap pembaca tentang arti sebuah perjuangan tanpa henti dari Kiai Syansuri Badawi. Ada cerita-cerita singkat dari jejak keteladanan Kiai Tebuireng, yang dengan kesabaran, keikhlasan, dan dedikasi beliau selama hidupnya senantiasa menjadi himmah bagi santri-santri yang sedang belajar di Pesantren Tebuireng maupun di pesantren lainnnya.
Terakhir, buku ini sangat layak di baca oleh khalayak umum, karena banyak nilai-nilai yang ternanam dari keteladaan yang diberikan oleh Kiai Syansuri Badawi. Semoga berkah. Amin