Gerakan Perempuan di Era Digital: Ancaman dan Upaya Penyikapan

Share artikel ini

Reading Time: 4 minutes

Penulis : Alfiatus Sholehah

NgajiGalileo – Berbicara mengenai gerakan perempuan, maka terdapat juga kaitannya dengan gerakan feminisme. Di dalam sebuah gerakan tentunya terdapat paradigma yang digunakan sebagai acuan.

Gerakan-gerakan feminisme seperti feminisme liberal, individualis, sosialis, dan radikal serta gerakan feminisme lainnya memiliki paradigma khusus masing-masing.

Saat media cetak ditemukan, paradigma filosofis dominan. Paradigma ideologi yang  bersifat internasional didorong oleh media telegrafi dan fotografi.

Penemuan radio menyebabkan lahirnya ideologi nasionalisme modern. Namun kemudian, penemuan komputer mengganti paradigm ideologis dengan paradigma saintifik.

Akhirnya fusi media-media dengan satelit membaurkan yang nyata dan imajiner, sehingga terjadi peleburan multi paradigmatik yang menandai era pasca modernisasi.

Hingga era digitalisasi saat ini, gerakan feminisme tetap banyak dijumpai karena tantangan dan ancaman dapat terjadi pada setiap perempuan tanpa memandang kelas sosial dan ekonomi.

Ancaman-ancaman yang Dapat Dialami Perempuan di Era Digitalisasi

Revolusi Digital adalah perubahan dari teknologi mekanik dan elektronik analog ke teknologi digital yang telah terjadi sejak tahun 1980 dan berlanjut sampai hari ini.

Terjadinya revolusi ini memberikan dampak poitif bagi kehidupan manusia, yakni semakin mudahnya manusia dalam melakukan kegiatannya, terutama  dalam mengakses berbagai informasi.

Namun setali tiga uang, dalam dampak positif yang disebabkannya, revolusi digital juga memberikan dampak negatif, salah satunya dampak negatif yang dapat terjadi pada perempuan.

Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Semakin berkembangnya teknologi, maka semakin beragam pula bentuk kejahatan yang dapat ditemui. Bagaikan dua sisi mata uang, cyber crime atau kejahatan dunia maya adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari era digitalisasi.

Kemudahan akses informasi dan komunikasi dengan berbagai teknologi yang ada menjadi penyebab utama terjadinya cyber crime. Perempuan sebagai objek yang rentan sangat mudah sekali menjadi korban kejahatan dunia maya.

Baca Juga:   Teknologi untuk Mengeruk Kebebasan Finansial, Bukan Zamannya Lagi

Saat ini banyak ditemui kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang semakin hari semakin bertambah kasusnya. Contohnya adalah yang terjadi beberapa waktu lalu yakni pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa berprestasi Indonesia yang saat ini sedang menempuh beasiswa kuliah di luar negeri.

Korban kasus pelecehan ini adalah beberapa perempuan adik tingkat pelaku saat kuliah di Indonesia dan beberapa perempuan di luar negeri. Pelecehan seksual melalui media sosial dengan menggunakan fitur chat atau video call sering terjadi.

Clickbait atau judul postingan yang mengobjektifikasi bagian tubuh perempuan serta stiker-stiker seksis yang tersebar di whatsapp dan media sosial lain banyak ditemui.

Objekifikasi Perempuan oleh Media

Media massa baik cetak maupun elektronik, khususnya media sosial mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan sosial manusia. Stigma dan stereotip yang terkonstruk dalam kehidupan masyarakat sedikit banyak dipengaruhi oleh media.

Citra perempuan yang dibentuk di media disesuaikan dengan keinginan pelaku bisnis dan industri. Contohnya pada saat ini banyak sekali ditemukan iklan pelangsing, pemutih, dan peninggi badan.

Iklan-iklan ini secara tidak langsung menciptakan stigma bahwa perempuan yang memiliki bentuh tubuh langsing, tinggi dengan kulit putih dan mulus merupakan perempuan yang cantik dan sempurna, sedangkan perempuan dengan kondisi tubuh sebaliknya akan mendapatkan bully-an.

Objektifikasi perempuan dalam beberapa iklan dan film seperti iklan parfum menjadikan perempuan seolah-olah barang pemuas bagi hasrat laki-laki. Apalagi saat ini juga sering dijumpai postingan gambar atau video di berbagai media sosial yang mengekspos bagian tubuh tertentu pada perempuan.

Perkembangan dan Penguasaan Teknologi Dijadikan Dalih untuk Dapat  Mengeksploitasi Perempuan

Pada era digitalisasi ini, setiap manusia dintuntut untuk dapat menguasai beberapa alat teknologi sebagai skill utama dalam menghadapi era digitalisasi dan revolusi industri.

Baca Juga:   Menghadirkan Empati Saat Pandemi

Pendidikan perempuan di sektor TIK dianggap akan mempercepat tercapainya kesetaraan gender yang juga menjadi tujuan dari Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan oleh PBB. Peningkatan akses perempuan terhadap TIK adalah demi ‘mempekerjakan perempuan’.

Perempuan diberdayakan demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Perempuan ‘dipaksa’ bekerja dengan dalih mewujudkan kesetaraan gender yang telah dikampanyekan secara global. Negara seperti Indonesia pun dipaksa mengikutinya, demi tercapainya target global.

Tercatat bahwa di Indonesia buruh perempuan adalah buruh yang upahnya lebih minim daripada laki-laki. Keuletan dan ketelatenan perempuan dalam bekerja sering dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan.

Buruh perempuan tidak diberi cuti haid dan hanya diberi cuti melahirkan yang sangat singkat. Durasi waktu bekerja yang tidak manusiawi juga membuat buruh wanita semakin tersiksa. Dalam hal ini, perempuan dengan kelas ekonomi menengah kebawah adalah objek yang paling rentan.

Sebagaimana dikatakan oleh Armahedi Mahzar, hal yang penting untuk diwaspadai adalah globalisasi multimedia menandai era baru megateknik, dimana berbagai sistem teknologi melebur menjadi suatu jaringan megaorganik yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional, di mana negara-negara kebangsaan berfungsi sebagai sarana administratif dan polisional belaka bagi kepentingan penumpukan modal raksasa lintas bangsa yang dipercepat oleh telekomunikasi global.

Secara tidak disadari, permesinan manusia berjalan mulus. Permesinan perempuan oleh laki-laki adalah konsekuensi praktis seiring berjalannya permesinan manusia oleh teknik, dehumanisasi perempuan adalah kawan seiring terjadinya dehumanisasi manusia oleh teknik.

Oleh karenanya, tak ada gunanya berbicara tentang emansipasi perempuan tanpa berbicara emansipasi manusia seutuhnya

Upaya Penyikapan yang Dapat Dilakukan

Bijak dalam menggunakan teknologi atau bermedia sosial. Sebagai perempuan sekaligus mahasiswa pergerakan, kita dituntut memiliki sikap yang kritis dan  bijak dalam menyikapi segala sesuatu.

Arus informasi yang semakin deras dan teknologi yang semakin canggih menjadi tantangan yang harus dapat ditaklukkan. Berhati-hati dalam menggunakan dan mengakses segala media menjadi kunci penyikapan.

Sebagai perempuan, kita harus berhati-hati dalam membuat dokumentasi atau postingan di media. Kita harus dapat memilah dan memilih hal-hal apa saja yang sifatnya publik atau privat, karena dengan kecanggihan teknologi, tindakan kriminal juga semakin mudah dilakukan. Setiap perempuan dapat menjadi korban tanpa memandang umur, kelas sosial dan ekonomi.

Baca Juga:   APA SIH KULINER YANG FAMILIAR BAGI MAHASISWA UIN MALIKI MALANG?

Sebagai seorang yang terpelajar, kita memiliki beban sosial untuk juga bersikap terpelajar. Penggunaan media secara bijak dengan membuat postingan yang baik dan mengedukasi serta tidak merugikan dan menjatuhkan pihak lain.

Kita harus menghindari pem-bully-an dan hate speech yang hari ini marak ditemukan di berbagai media. Selain itu, kita juga wajib mengedukasi orang-orang terdekat kita seperti saudara, keluarga, dan teman terkait penggunaan media.

Melawan eksploitasi perempuan dengan tetap hidup produktif namun tidak hyperaktif. Dalam kata lain adalah kita harus sadar akan apa yang kita kerjakan, jika apa yang kita kerjakan adalah paksaan orang lain yang memaksa diri kita melakukan hal diluar batas kemampuan manusia pada umumnya, kita harus dapat berani melawan.

Alfiatus Sholehah

Selain penyikapan di atas, kita juga harus selektif dalam mengadopsi pemikiran atau paham yang digunakan oleh kaum feminisme. Kita tidak dapat menjadi antifeminis yang pemikirannya tradisional konservatif, meletakkan perempuan sebagai subordinat laki-laki atau feminis modern radikal yang menempatkan laki-laki bukan sebagai kawan perempuan, tetapi sebagai lawan.

Lebih parahnya, pada saat ini dijumpai perempuan-perempuan yang mengaku feminis namun mereka saling mencari panggung dan saling menjatuhkan satu dan yang lain hanya untuk mencari eksistensi.

Kita harus mengambil paham-paham yang sesuai dengan ideologi dan keadaan. Sebagaimana yang sering kita dengar, ”al-muhafadlotu ‘ala qodimis sholih wal akhdu bil jadidil ashlah” yang artinya mempertahankan tradisi lama yang masih efektif dan mengambil inovasi yang lebih menarik.

*tulisan ini dibuat sebagai bahan materi Webinar Ngaji Galileo “Gerakan Perempuan di Era Digital” pada Selasa, 16 Juni 2020


Share artikel ini

Recommended For You

Tulis Komentar