JIKA DI TERMINAL

Share artikel ini

Reading Time: 4 minutes

Jika di Terminal – Terminal Rajekwesi Bojonegoro begitu ramai. Bersama fajar, pedagang sudah berakrab ria dengan kernet bus, hilir mudik. Begitu juga pengamen dan asongan. Juga Lyn. Sebutan untuk kendaraan umum yang lebih kecil dari Bus Kecil. Baik itu angkutan dalam kota, jalur Babat-Bojonegoro, Padangan-Bojonegoro dan sesekali jurusan Temayang-Bojonegoro. Begitu sampai ujung waktu subuh, diantar mentari dari timur, satu-dua anak-anak berseragam sekolah mulai berseliweran selepas turun lincah dengan kaki kirinya.

Itu dulu, sekitar 20 tahun lalu. Tahun-tahun pembuka awal abad 21. Saat terminal masih di lokasi yang sekarang menjadi taman Rajekwesi. Begitu masuk abad 21, Bupati (Alm) Santoso memutuskan untuk mengembangkan kota dan membangun terminal yang sekarang di Jalan Veteran. Kini jadi pusat bisnis dan jantung perekonomian.

Konon dulu banyak pejabat teras yang memiliki lahan di sepanjang kawasan tersebut. Kini sebagian besar sudah beralih hak dan banyak dikelola oleh para pengusaha. Dari mulai taman rekreasi, hotel dan atau deretan warung kopi, yang saat ini sedang booming. Saking hebohnya, terminal pun ramai oleh warung kopi saat malam hari. Sepi saat matahari mendominasi.

Bus-Bus seperti disapih penumpang. Melaju sendirian tanpa ada yang diantarkan. Hidup lalu-lalang tanpa tujuan. Apalagi saat pandemi Covid-19 seperti saat ini. Lengang saat siang hari, gemerlap adu besar tivi-tivi milik warung kopi sepanjang malam.

Kembali ke Terminal lama. Ibarat tubuh, -masih menancap diingatan- bagaimana anatomi atau struktur, tepatnya denah dan situasi kala itu. Ujung utara bagian depan adalah pintu masuk bus-bus saat datang. Begitu turun, dipojok utara dari deretan kios-kios yang menghadap barat memangku puluhan bus, penumpang dapat melepas hajat yang tertahan dengan memanfaatkan toilet. Tentu dengan tarif uang receh, sama seperti sekarang. Hanya jumlah yang berbeda.

Baca Juga:   Menghadirkan Empati Saat Pandemi

Jika kita pingin mengusir pahit mulut, saat belum lapar dan tidak lagi kenyang, pilihan utama adalah memasuki warung Bakso legendaris milik pak Gendut. Untuk menikmatinya, penumpang harus melangkah pagar besi using setinggi perut orang dewasa. Es degan cukuplah mengikat rasa kuah bakso terpatri kuat di lidah dan pikiran. Kini, berada di jalan raya Dander dan beberapa di jalan raya Bojonegoro-Cepu.

Mungkin sekarang sudah dikelola oleh anak turunnya. Hingga saat ini pun, jarang sekali yang mengetahui, yang mana sosok juragan bakso yang dipanggil pak Gentut itu.

Dekat pintu penghubung antara terminal Bus dengan terminal Lyn. Berhadapan dengan bus jurusan Surabaya, yang mengular paling panjang. Terdapat toko kaset. Kebanyakan adalah bajakan. Menghadap ke timur dan utara. Sebelum pindah, sempat mulai datang barang yang menjadi penyebab punahnya kaset pita. Yaitu CD dan VCD. Dan Lenyap seketika dihempas Mp3 yang berjubel di internet era sebelum imperium Youtube.

Bagi siswa dari luar kota, baik yang nge-Kost atau mondok, sering duduk diam berlamaan di dekat penjual kaset tersebut. Biasanya itu terjadi saat minggu sore selepas pulang kampung, menebus kangen dan meminta bekal untuk sepekan bagi anak kost hingga sebulan kedepan untuk anak yang nyantri.

Ilustrasi; mustakimra.blogspot.com

Pada zaman itu, Bojonegoro merupakan salah satu rujukan untuk menuntut ilmu. Anak dari Blora, Lamongan, Tuban bagian selatan kebanyakan sekolah di Bojonegoro. Karena jarak, mereka nge-kost. Ada juga yang sejak awal, berniat mondok sambil sekolah formal di Kabupaten yang sekarang dihuni sekitar 1,5 juta penduduk.
Kebanyakan santri yang sekolah di luar pondok adalah santri Al-falah Pacul, seperti di SMEA, STM, MAN dan atau SMA 2. Sedangkan yang nyantri di Kompleks Kendal Dander banyak yang sekolah di dalam pondok pesantren mereka sendiri. Jika toh ada, dapat dihitung dengan jari. Sekolah lain, seperti SMA 1 dan SMA 4 yang berada di jantung kota, banyak diisi oleh anak kost dan anak rumahan sekitar kota.

Baca Juga:   USAHA BARU

Untuk apa cangkruk dengan jarak tidak jauh dari toko kaset? Yang pasti mendengarkan lagu yang sedang nge-Hits saat itu. Slank, Dewa-19, Sheila on & 7 dan Padi adalah grup Band yang sedang populer. Lagu yang ngetop, pasti diputar berulang-ulang untuk menarik pembeli kaset. Dan kebanyakan, hanya mendekat untuk mendengarkan. Begitu puas, bisa bergeser ke selatan untuk mengejar lyn menuju tempat kost atau pondok.

Maklum, bagi siswa yang nyantri atau mondok sudah pasti tidak ada yang memiliki alat pemutar kaset, tape, sebutannya kala itu. Begitu juga anak kost, hampir mirip-mirip. Uang saku terbatas. Tapi harus bisa mengimbangi perbincangan anak rumahan tentang musik-musik yang dianggap keren. Kesenjangan fasilitas yang nyata diantaranya adalah, antara pengguna telpon umum berbasis koin dan telpon rumah yang dibayar bulanan langsung oleh orang tua perkotaan.

Mereka juga dimanja dengan tontonan MTV di tivi rumah yang mustahil bisa dinikmati siswa yang nyantri di pondok pesantren. Oh ya, dulu sebutan untuk anak yang keren, cakep dan gaul adalah suetil. Ucapan ngawur dari kata “Style”. Belum lahir kata kece. Sapaan Bro, Lur bahkan Gaes, juga belum ada. Mungkin personil Blackpink atau BTS masih ingusan hidungnya. Belum ada angan-angan menggantikan hegemoni Westlife dan Backstreet Boys.

Baca Juga:   Ngaji Hukum: Pengertian Hukum Pidana

Pada kisaran tahun 99-2000, ada salah satu lagu yang fenomenal. Keluarnya Ari Lasso dari Dewa-19 dan dominasi Ahmad Dhani adalah bumbu yang ampuh. Lagu itu dibawakan duet top, Melly dan Ari Lasso. Begitu membahana. Kalau sekarang bisa disebut trending topic atau viral. Fardlu Ain, untuk hafal. Dan memang lagunya enak didengar. Khusus santri, disela menghafal Nadhoman atau Tasrif juga diselingi bergumam lagu-lagu yang lagi hits. Al-Muhafadzah ala al-Qodim al-Shaleh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah.

Masih tentang lagu duet fenomenal tadi. Dalam setiap istirahat sekolah, thema tersebut terus mendominasi. Tentang lagunya, tentang penyanyinya, dan hal lain yang seolah mewakili perasaan seluruh pendengarnya. Singkatnya, Lebih heboh dari berita kekalahan Ivan Zamorano dalam perebutan nomor punggung saat bermain di klub Italia, Inter Milan. Lagu itu judulnya adalah JIKA. Di Youtube masih ada kok, jika anak sekarang ingin mengenalnya. Kini hegemoni dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh Via Valen atau Nella Kharisma di satu sisi. Dan Korean Style pada bilah yang lain.

Sepertinya dunia berubah begitu cepat.

Kamu punya cerita apa Kawan, eh, Gaes?!

Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Mustakimra


Share artikel ini

Recommended For You

Tulis Komentar