Andai Jadi Kades

Share artikel ini

Reading Time: 2 minutes

Menganggap informasi dan data tentang penyebaran Covid-19 di Indonesia sebagai sumber ilmu pengetahuan, secara umum masih cukup sulit. Tetapi sebagai sumber kecemasan, cukup berdampak pada seluruh sektor kehidupan dan lapisan masyarakat.

Pemerintah pusat, sepertinya ingin menahan laju kecemasan dengan menghadirkan juru bicara yang berbeda, yaitu seorang dokter perempuan yang terlihat segar di layar televisi atau platform lain. Meski secara statistik masih menunjukkan angka yang terus naik. Bahkan kini terbesar di Asia Tenggara.

Kebijakan-kebijakan dalam mencegah dan menangani wabah ini sepertinya tak kalah dahsyat dalam memberikan efek kejut. Kegiatan social ekonomi berjalan paradoks. Hotel dan rumah makan sunyi sepi, tapi sarden di industri pengemasan ikan sepanjang pantura jawa langka. Arus transportasi melandai, harga bahan bakar bergerak di tempat.

Dunia pendidikan tak kalah heboh. Pelajaran daring digalakkan, akses sinyal dan jaringan internet belum memadai. Bahkan di pulau Jawa sekalipun. Bagaimana bisa menggalakkan pembangunan tower penyebar sinyal, jika jaringan listrik tak mendukung?!. Begitu terdengar para pihak saling tukas menghindari disudutkan oleh kerisauan massal para wali murid. Dan kalangan pesantren juga tak kunjung mendapat tambahan asupan perhatian yang cukup.

Baca Juga:   Better Normal: Atur Ulang Kehidupan

Drama bantuan jaminan sosial pada kalangan masyarakat akar rumput tak kalah pilu dan masih berlanjut. Jika ini disebut sebuah karya sastra, plot-nya belum memuncaki konflik. Apa itu plot? Anoman mati itu disebut jalan cerita. Anoman mati karena kelaparan adalah sebuah plot. Sayangnya, keadaan belum menunjukkan penurunan tensi selepas drama mencapai klimaks. Wabah masih terus menggurita. Jalan cerita dipaksa landai dengan istilah New Normal.

Sementara itu, Kementerian Keuangan telah memperpanjang durasi pemberian Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) menjadi enam bulan. Akhirnya, awal paruh kedua bulan Juni tahun ini, Kementerian Desa juga menerbitkan aturan lanjutan tentang prioritas penggunaan Dana Desa. Desa sebagai struktur negara yang dijamin otoritasnya dalam mengatur dirinya sendiri, kini harus taat dan patuh dengan entitas supra desa. Demi satu komando dalam penanganan wabah global yang melanda.

Baca Juga:   AMANKAH MENIKMATI KOPI DI PAGI HARI SAAT PERUT KOSONG

Kepala Desa yang baru dilantik, mengeluh tak leluasa menuangkan visi misinya dalam RPJMDes hingga penganggarannya. Kepala Desa Lama memprotes tidak bisa melaksanakan pembangunan yang diminta warganya yang tinggal di gang-gang sempit tepi anak sungai.

Perangkat desa menjerit ; menerjemahkan kebijakan satu belum selesai, harus beradaptasi dengan regulasi yang lain. Semakin pusing tetkala keinginan Kepada Desa tidak terakomodasi dengan baik. Keinginan Kepala Desa, pada fakta lapangan, setengahnya adalah regulasi bagi perangkatnya.

Semua daun berwarna hijau, kecuali yang rontok. Itu garis tangan. Begitu juga kehidupan, harus dijalankan dan digerakkan. Itu takdir yang lain. Hingga, dengan segala tambal-sulamnya, perangkat desa tetap bertugas menggerakkan roda dengan kemudi pada Kades beserta segala macam ragam cara pandangnya.

Kekurangan jumlah dan kapasitas perangkat, membuat puyeng yang lain bagi para Kades. Bagi yang berencana mencalonkan lagi, tentu segala halnya diukur dengan pertimbangan politik. Sekali membuka seleksi perangkat desa untuk satu posisi. Hampir dapat dipastikan ada sekitar 50-an tokoh desa yang mendaftar. Pada akhirnya, 49 orang yang gugur akan menjadi lawan politik baru, sementara tambahan sekutu hanya seorang perangkat yang lolos lantas diangkat. Itupun setahun kemudian akan mulai mendiskusikan tentang tambahan tunjangan yang semestinya didapat.

Baca Juga:   DESA BOGO: BOJONEGORO MENGOLAH POHON KELOR (MORINGA OLEIFERA) MENJADI WISATA KULINER

Sementara kondisi memaksa para Kades membutuhkan betul tim kerja yang solid dan kapabel. Era the drink team sudah usang. Harus dibangun the dream team. Hal itu untuk menjawab keraguan dan kritisnya warga ditambah dengan fasilitas sosial media yang telah merasuki pikiran hingga menjadi candu. Begitu juga tekanan supra desa yang masih. Andai jadi Kepala Desa? Apa yang akan kamu lakukan?!.

Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Mustakimra


Share artikel ini

Recommended For You

Tulis Komentar