Reading Time: 2 minutes
Suami Takut Istri – Dalam membangun dan mengarungi bahtera rumah tangga, seorang suami dan atau istri harus saling memahami kelebihan dan kekurangan. Saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing. Suami tidak perlu takut istri. Sebaliknya, istri tak perlu sewenang-wenang. Istri tak perlu menginterogasi aktivitas pasangannya. Suami hanya keluar seperlunya, tak berlebihan beraktivitas, apalagi jadi kaum rebahan di luar rumah.
Jika hal tersebut bisa diterapkan, alangkah indah kondisi setiap rumah tangga. Pasangan muda penuh semangat dalam menumbuhkan kelayakan ekonomi. Kemudian penuh kasih sayang merawat anak-anak yang lucu. Merawat keceriaan sembari menempuh sekolah terbaik demi tumbuhnya generasi masa depan yang cerah. Indahnya rumah tangga, akan meningkatkan angka kebahagiaan warga negara. Tentu ini bukan sesuatu yang lebay.
Kendati demikian, pada faktanya banyak terjadi cerita sedih hingga kisah yang membuat terpingkal-pingkal menertawakan keadaan. Keadaan teman atau bahkan keadaan diri sendiri. Seorang suami muda seringkali jadi sasaran perundungan, lantaran tak kunjung berani keluar rumah dengan leluasa, kecuali memakai alasan mencari nafkah atau aktivitas pekerjaan. Tertekan di rumah, tersudutkan saat di luar rumah. Situasi yang membuat semakin depresi. Dikenal sebagai suami takut istri.
Keadaan itu juga sesekali melahirkan kreativitas-kreativitas baru. Meski kadang ganjil dan tak masuk akal. Terpenting, keluar rumah jalan terus, situasi dalam rumah kondusif. Tanpa gerutu, bebas omelan yang kadang menyerbu bertubi-tubi bak degungan gerombolan lebah. Bising tak terhindarkan dan pasrah begitu saja tetkala badan lebam membiru jika akhirnya disengat membabi-buta.
Alkisah, pada suatu ketika di sebuah rumah makan, selepas rapat kerja, seorang lelaki bersenda-gurau dengan rekan sejawatnya. Melepas penat dengan gelak tawa. Tentu saja dengan piring kotor dan tulang sisa makanan bersekaran di meja. Bedanya hanya, di rumah berserakan piring minus tulang sisa, kecuali duri ikan asin dan lengkuas.
Tiba-tiba ponsel lelaki, sebut saja Adam, bukan nama sebenarnya, berdering nyaring menghentikan gelak tawa. Hanya asap rokok yang memenuhi ruangan yang senyap seketika. Saling toleh hingga akhirnya Adam minta ijin keluar untuk mengangkat ponsel yang belakangan diketahui video call dari istrinya di rumah.
“Kok Lama?!,” begitu Adam datang langsung ditodong pertanyaan seorang teman yang duduk di sudut ruangan.
Pertanyaan itu diterima telinga seperti ledakan mesiu yang diluncurkan seorang sniper andal dalam film-film action. Mengejutkan sekaligus menyadarkan lamunan pada tatapan kosong yang mengikuti lelaki beranak satu itu.
“Iya, tadi saya harus pake jaket, helm dan menyalakan sepeda motor dulu sebelum mengangkat telepon,” jawabnya berat seperti menahan gelombang ombak pasang di pantai.
“Kok bisa begitu?!” timpal teman yang lain seperti seorang hakim mengadili terdakwa.
“Iya, tadi soalnya tadi pas di WA, saya terlanjur bilang sudah otewe pulang. Tadi badan juga agak saya goyang-goyang seperti tersapu angin perjalanan. Biasa, kebohongan kedua harus dirancang saat sudah berbohong sebelumnya. Saya pamit dulu ya,” pungkas Adam setelah mengambil tas kecil pada tempat duduknya tadi.
“Seperti wisuda di ruang tamu.” ledek teman satunya, yang kali ini tak terjawab, bahkan terkesan seperti penutup dari seluruh rangkaian acara.
Semua melirik ponsel masing-masing. Serempak, meski tanpa komando. Sesaat kemudian semua bubar, dengan raut wajah beragam. Seseorang pergi dengan menyimpan tanya penasaran. Yang lain menahan tawa geli bercampur gemuruh khawatir. Yang lainnya lagi, wajah bersungut-sungut emosi, karena terpaksa harus membayar makan minum seorang diri. Menanggung tagihan seorang diri dan pergi ke kasir tanpa ditemani. ###
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Mustakimra