Better Normal: Atur Ulang Kehidupan

Share artikel ini

Reading Time: 3 minutes

Penulis : Hadi Prayitno

NgajiGalileo – Di Abad-21 teknologi sebagai produk akal manusia belaka, oleh sebagian besar penghuni bumi telah dianggap mampu memenuhi kebutuhannya. Mereka menggantungkan hidupnya, mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Tidak mau lepas, tergantung dengan setergantung-tergantungnya.

Titik nadir manusia diperbudak buah karya pikirannya sendiri, Tuhan telah dipersekutukan atas sifat wajib-Nya, sebagai satu-satunya Dzat yang paling layak disembah dan paling layak dimintai pertolongan.

Untuk mengembangkan dan menguasai teknologi, ayat-ayat kauniyah Tuhan begitu saja dirusak; Hutan digunduli, laut dan udara dicemari, tanah digali dengan penuh birahi, isi bumi dihisap seperti setan kesurupan iblis. Teknologi, berhala baru ciptaannya, terbukti membantu mereka dalam melakukan eksploitasi.

Memasuki seperlima Abad-21, kepongahan manusia diuji oleh sekecil-kecilnya makhluk ciptaan Tuhan, yaitu virus bernama corona. Virus ini datang ke tengah kehidupan manusia karena rumah inang-nya telah dihancurkan, memaksa mereka berpindah.

Worldometers.info mencatat pada 22 Januari 2020 jumlah orang terinfeksi virus corona baru sebesar 563 kasus di seluruh dunia. Hari ini (4/6) pukul 07.23 GMT atau 14.23 WIB jumlahnya telah mencapai 6,58 juta kasus, di mana 388.066 di antaranya meninggal dunia.

Baca Juga:   Terinspirasi Alam, Cahaya Juga Bisa Dipanen

Dari jumlah tersebut 28.233 kasus dan 1.698 meninggal dunia berada di Indonesia. Ini bukti nyata betapa paniknya manusia, dan betapa belum siapnya teknologi mengantisipasi virus corona. “Allahu A’lamu maa Laa Ta’lamuun.

Begitu lah corona telah mengguncang kehidupan umat manusia. Miliaran orang yang tinggal di 213 negara dipaksa masuk rumah, baik untuk bekerja maupun belajar, menjaga jarak sosial, serta membatalkan segudang rencana untuk memuaskan hasrat duniawinya.

Kesehatan terancam dan ekonomi terpuruk, memberi sinyal kuat dunia akan mengalami krisis multi-dimensional yang jauh lebih dahsyat dibandingkan sekedar krisis ekonomi global tahun 1998 dan 2008.

Bosan mengurung diri, setidaknya sejak bulan Maret lalu, mayoritas penduduk bumi mulai mencari dalih pembenar untuk kembali bergaul, bekerja, berpesta dan meraup untung.

Meski vaksin belum ditemukan, jumlah kasus terus meningkat, dan virus belum mampu dijinakkan, mereka telah menawarkan gagasan “new-normal”. Istilah yang tidak dilandasi prinsip dan nilai secara kokoh, semata menyadur frasa yang digunakan pasca krisis ekonomi 2007-2008, agar membiasakan diri untuk dibayar murah karena pertumbuhan ekonomi turun dan melambat.

Baca Juga:   Bertanam: Cara Bertahan Hidup di Masa Pandemi

Apanya yang New? Apa pula yang Normal? Bagaimana tiba-tiba lahir sesuatu yang New kalau yang Old saja tidak dimengerti bentuknya? Benarkah sebelum pandemi kehidupan kita sudah Normal? Standar normal seperti apa yang digunakan?

Kehidupan manusia itu memiliki tiga dimensi yang harus berjalan secara seimbang, yaitu hubungan kepada Tuhan, hubungan kepada sesame manusia, dan hubungan kepada alam semesta. Keseimbangan dan keadilan hubungan diantara ketiganya seharusnya menjadi indikator kehidupan yang Normal.

Tidak normal kehidupan seseorang ketika untuk melancarkan hubungannya dengan Tuhan, ia menginjak keyakinan orang lain dengan perilaku diskriminasi dan intoleran. Juga tidak normal, jika untuk memiliki kehidupan yang berkecukupan tapi menghisap keringat para buruh dan pekerja, serta menghancurkan lingkungan hidup dan ekologi.

Semakin tidak normal ketika untuk meraih kekuasaan harus memanipulasi ajaran agama, menjajah penduduk miskin, dan merusak hutan dan lautan.

Bukankah normalitas yang kita maksud sebelum pandemi itu secara umum lebih mirip dengan uraian di atas itu, yang ternyata bukan lah sebuah kehidupan yang normal. Kalau kehidupan seperti itu yang akan dikembalikan, maka pasca pandemi ini kita semua sesungguhnya hanya akan kembali lagi terjerumus pada tatanan kehidupan yang Abnormal tersebut.

Baca Juga:   Diaspora Alumni Galileo Membangun Negeri

Tuan Klaus Schwab, pendiri dan pimpinan Forum Ekonomi Dunia/ World Economic Forum (WEF) mengutarakan nasehatnya, bahwa pandemi ini seharusnya digunakan untuk merefleksikan, menata kembali, dan mengatur ulang dunia.

“…The pandemic represents a rare but narrow window of opportunity to reflect, reimagine, and reset our world.”

Klaus Schwab

Secara teratur ia menegaskan bahwa harus ada refleksi atau muhasabah yang mendalam, sebelum menata dan mengatur ulang kehidupan.

Dr. Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS), dengan sangat brilian menawarkan gagasan yang ia beri nama “build back better”, atau dalam bahasa sederhananya adalah berani lebih baik.

Ilmu pengetahuan telah membimbingnya untuk merefleksikan agar tidak kembali terjebak pada pola hidup lama yang tidak ramah lingkungan, cenderung merusak, dan menimbulkan dampak buruk bagi alam semesta.

Diadopsi dari pemulihan pasca bencana, konsep “build back better” bertujuan untuk menghindari terjadinya kondisi kerentanan semula (yang lama) dan menjadikan proses pemulihan sebagai transformai menuju arah yang lebih baik yang mencakup transformasi sosial, ekonomi, dan lingkungan.


Share artikel ini

Recommended For You

2 Comments

Tulis Komentar