Reading Time: 3 minutes
“NU harus Cancut Taliwondo. Bismillah…,” kata Ketua Umum PBNU dalam uraian pidatonya di Istiqlal, Sabtu malam, 27 Pebruari 2021. Kosa kata ini menarik. Satu, karena bukan bahasa prokem Kiai Said. Dua, karena istilah ini ternyata mengandung makna yang cukup asosiatif.
Dalam pidato sakral malam Harlah ke-98 NU 16 Rajab 1442 Hijriyah itu, Kiai Said tidak menyiapkan naskah khusus. Sebagaimana tertangkap layar TVNU, hanya ada catatan kecil, yang hanya satu dua kali saja dilihat.
Meski bukan pilihan diksi kata yang lazim, namun Kiai Said menyatakannya dengan cukup lugas. Intonasinya tegas
‘Cancut Taliwondo’ merupakan istilah Jawa dari serapan bahasa Sanskerta. Bermakna “tumandhang gawe” atau “bergegas menuntaskan pekerjaan”.
Menguatkan simpul sabuk, mengeratkan lipatan kain sarung, atau menyingsingkan lengan baju sebagai permulaan satu aktifitas, dalam budaya masyarakat Jawa, bisa jadi contoh sederhana penggambaran Cancut Taliwondo ini.
Istilah yang sama juga dipakai untuk menyebut kepiawaian dalang dalam memainkan dan menata posisi wayang dalam pagelaran wayang.
Dengan pengertian ini, Kiai Said menyeru kepada segenap kekuatan NU untuk bergegas. Bersama-sama turun gelanggang. Mengerjakan sesuatu yang nyata. Mengkontribusikan apapun segenap kemampuan yang kita miliki, untuk mengatasi apapun masyakil dan masa’il yang ada di depan mata.
“Mari kita rapatkan barisan. Wihdatusshof. Barisan yang satu. Satu kata. Kalimah wahidah. Shoutun wahid. Syirotin wahid. Insya Allah, ‘ala baarokatillah,” tandas Kiai Said.
Termasuk dalam seruan ini, sebelumnya Kiai Said memaparkan kandungan Surat An-Nisa 114. Menurutnya, surat ini berisi panduan Al-Qur’an tentang tiga agenda wajib dalam berorganisasi. Apapun bentuk dan level organisasinya. Apakah itu ormas, organisasi politik, struktur pemerintahan, bahkan struktur negara, tegas Kiai Said, wajib menyematkan tiga agenda ini dalam misi kerjanya.
Tiga agenda tersebut; pertama, memobilisasi dan menghidupkan gerakan dana umat seperti zakat, infaq, wakaf, dan sedekah. Pemerintah, misalnya, bisa menginstruksikan kepada aparatur sipil negara yang muslim untuk mengeluarkan zakat 2,5% melalui BAZNAS dan lembaga-lembaga amil zakat lain yang ada.
Kedua, melaksanakan amar makruf sekurangnya dalam dua bidang; pendidikan dan kesehatan. Kualitas pendidikan saat ini menentukan kualitas kepribadian generasi yang akan datang. Kesehatan, dalam hal ini menjadi syarat penting bagaimana pendidikan dapat berlangsung dengan baik. Tidak mungkin anak-anak kita bisa belajar dengan baik, tidak mungkin kita bisa bekerja dengan baik, kalau kondisi kita sakit-sakitan.
Dan ketiga, membentuk masyarakat yang shaleh. Membangun masyarakat yang berakhlak. Suatu masyarakat, kata Kiai Said, akan dihargai dan dimuliakan martabatnya kalau akhlaknya baik, apapun agamanya. Teologi dan syari’at yang benar, agama yang benar, belum menjamin kehidupan sosial suatu masyarakat bermartabat.
“Wainnamal umamu akhlaqu ma baqiyat wa inhumu dzahabat akhlaquhum dzahabu”, mengutip syair Arab, Kiai Said mengatakan “sesungguhnya martabat suatu bangsa itu bergantung akhlaknya. Selama akhlaknya baik maka martabatnya luhur. Dan tatkala akhlaknya buruk, maka jatuhlah bangsa itu”.
Secara utuh, bisa jadi tiga agenda wajib inilah yang dimaksud Kiai Said yang harus menjadi concern segenap kekuatan NU untuk bersama-sama “Cancut Taliwondo”. Untuk bersama-sama bergerak tanggap dan bertindak nyata.
Atau dengan pemaknaan konotatif, “Cancut Taliwondo” sebenarnya juga mengingatkan kita kepada sejarah mengenai rumusan saran monumental KH Wahab Hasbullah kepada Bung Karno pada 1960.
Sebagai Rais ‘Aam PBNU yang juga anggota DPAS, saat itu KH Wahab Hasbullah memberi pertimbangan setengah terbuka terkait peliknya upaya pembebasan Irian Barat dan cakupannya dengan beberapa persoalan politik hankam saat itu.
Dalam saran tertulisnya, Kiai Wahab menyampaikan delapan rumusan terkait langkah-langkah bagaimana melakukan diplomasi secara jantan dengan pihak Belanda, meskipun sesungguhnya kesiapan militer dan situasi politik dalam negeri belum sepenuhnya terkonsolidasi.
Langkah taktis-diplomatis ini sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Kiai Wahab kemudian dikenal sebagai “Diplomasi Cancut Taliwondo”. Sebuah diplomasi dengan satu semangat bahwa dengan tekad dan kesatuan sikap segenap rakyat, tidak ada situasi yang tidak bisa diatasi.
Dengan pembobotan makna yang kedua ini, “Cancut Taliwondo” mestinya juga mengandung pengertian inheren bahwa NU sesungguhnya tengah membunyikan alarm kepada pemerintah. Bahwa dalam kaitan tiga agenda wajib di atas, ada situasi dan kondisi tertentu yang mengharuskan NU untuk bergegas, bersikap, dan bertindak. Wallahu ‘a’lam. (Didik Suyuthi)