Reading Time: 4 minutes
Dalam salah satu catatan pribadi KH Idham Chalid, sebagaimana terpublikasi pada buku biografi beliau (terbitan Pustaka Indonesia Satu, 2008), ada satu kutipan percakapan yang cukup membuat saya terkesiap.
Percakapan ini terjadi beberapa hari setelah Kongres (baca: Muktamar) ke-21 NU tahun 1956 yang berlangsung di Medan, Sumatera Utara. Seperti setengah tabayun, Kiai Idham menemui langsung Kiai Dachlan di kediaman beliau di Jakarta.
Kiai Idham baru saja terpilih sebagai Ketua Umum PB (Partai) NU hasil Kongres Medan. Dan Kiai Dachlan adalah Ketua Umum sebelumnya, hasil Kongres ke-20 di Surabaya tahun 1954.
Kiai Idham : Kalau ini kekuasaan saya, saya mau bertukar tempat Pak Kiai. Kiai kan tahu saya waktu itu tidak ada di tempat pemilihan.
Kiai Dachlan : Bukan ente Ham, tapi orang-orang itu yang membuat fitnah macam-macam. Hati saya sakit.
Kiai Idham : Kalau itu bukan terkait dengan saya, tolong saya jangan dibawa-bawa. Saya ini adalah korban dari pertentangan ini. Seandainya yuridisnya boleh kita tukar berdua, sekarang mari saya téken.
Kiai Dachlan : Tidak. Tidak usah begitu. Cuma hati saya sakit di fitnah. Macam-macamlah ceritanya.
Kiai Idham : Baiklah, kalau demikian kenyataannya. Kalau kiai tidak aktif, saya juga tidak mau aktif.
Kiai Dachlan : Sudahlah!
Kiai Idham : Baiklah, tapi kita tidak boleh marah sama mereka itu. Sekarang, kekuasaan partai seperti biasa di tangan Pak Dachlan. Walaupun saya ketua umum, silakan Pak Dachlan memerintah saya.
Yang nampak dari percakapan itu, Kiai Idham begitu menaruh hormat pada Kiai Dachlan. Secara usia keduanya memang beda jauh. Kiai Idham baru 35 tahun. Kiai Dachlan 47 tahun. Meski dalam satu kepengurusan, Kiai Idham sudah menganggap Kiai Dachlan seperti kakak dan guru yang banyak memberikan teladan kepemimpinan dan organisasi.
Di kepengurusan Kiai Dachlan (1954-1956), Kiai Idham duduk sebagai Ketua I merangkap Ketua Lajnah Pemilihan Umum NU (LAPUNU). Sebuah lajnah penting mengingat pasca cerai dari MASYUMI tahun 1952, NU harus kerja keras untuk menyiapkan diri mengikuti Pemilu 1955.
Sementara di periode kepemimpinan Kiai Idham, atas permintaan kiai-kiai sepuh, Kiai Dachlan diminta tetap berada di struktur. Beliau menduduki posisi Ketua I, posisi yang sama yang pernah ditempati Kiai Idham. Kiai Dachlan sempat menolak. Namun akhirnya tak berdaya. Sebagai santri ia harus sam’an wa tha’atan.
Soal sejauh mana kebenaran akan adanya ‘fitnah Kiai Dachlan’, Jujur saya tidak punya keberanian untuk menganalisisnya lebih jauh. Alasannya; Satu, sebagaimana dikutip dalam percakapan, ini sudah masuk ranah tabayun, yang tentu saja bersifat privat di antara beliau berdua. Dua, mereka-reka kemungkinan adanya, sebut saja ‘black campaign’ antar kiai, dalam majelis kiai, jelas tidak elok, uncivilized, dan yang pasti tidak ada manfaat publiknya.
Dalam pikiran saya, realitas penolakan terhadap Kiai Dachlan di forum Kongres Medan bisa terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama, semata faktor kebutuhan akan karakter kepemimpinan NU berikutnya yang mungkin saja dikehendaki yang lebih ‘milenial’ dari Kiai Dachlan. Atau kedua, yang meski kecil peluangnya, bisa saja ada pengaruh eksternal yang secara tidak langsung turut melecutkan posisi Kiai Idham di mata para stakeholders Muktamar.
Sekadar background. Tahun itu, Bung Karno baru saja mereformasi Kabinet Ali Sastromidjojo. Kabinet Ali jilid II, atau dikenal dengan Kabinet Ali-Roem-Idham baru saja dibentuk dan bekerja. Mewakili NU, Kiai Idham memegang tampuk amanat sebagai Wakil Perdana Menteri II yang antara lain bertanggungjawab melaksanakan pemulihan keamanaan nasional. Sementara, Kiai Dachlan bersama 90 wakil NU lainnya duduk di kamar berbeda di Dewan Konstituante.
Saat Kongres NU digelar di Medan, saat yang sama, gerakan Dewan Banteng dan Dewan Gajah yang diprakarsai para petinggi militer di Sumatera, mulai terang-terangan melawan pemerintah pusat. Sebagai Waperdam, fokus Kiai Idham lebih terkonsentrasi kesini.
Dan kalau sedikit merunut sejarah, kepemimpinan Kiai Dachlan sebenarnya juga tidak datar-datar amat. Bahkan bisa dibilang gemilang. Di bawah kepemimpinan Kiai Dachlan-lah Partai NU bertengger di tiga besar pada Pemilu 1955. Kursi NU di legislatif melonjak dari 8 (berdasarkan jumlah anggota Fraksi NU di DPRS) menjadi 45, atau naik sebesar 462 persen. Masyumi yang baru saja dicerai NU, hanya naik tipis dari 44 menjadi 57 kursi. Dari Pemilu yang sama, NU juga berhasil menempatkan 91 wakilnya di Dewan Konstituante. Komposisi politik ini pula yang pada akhirnya menempatkan Kiai Idham menjadi Waperdam II RI.
Sukses Kiai Dachlan tentu saja tidak bisa di-aku sendirian. Ada kiai-kiai kunci seperti KH Wahab Hasbullah, KHR As’ad Syamsul Arifin, KH Bsri Syansuri, KH Masykur, KH Zainul Arifin, KH Ilyas, bahkan KH Wahid Hasyim yang meski sebentar juga terlibat penuh dalam berbagai agenda konsolidasi basis NU menghadapi Pemilu 1955.
Pada perjalanannya, Kiai Dachlan tetap setia membersamai sukses Kiai Idham. Pada awal pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I, keduanya bahkan sempat sama-sama masuk dalam jajaran kabinet. Kiai Idham menempati pos Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat, dan Kiai Dachlan Menteri Agama.
Kiai Dachlan menutup khidmat politiknya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (1973-1977). Pemilik suara emas perintis MTQ Nasional ini wafat tahun 1977 pada usia 67 tahun. Sepeninggal Kiai Dachlan, Kiai Idham juga lah yang melanjutkan estafet di Dewan Pertimbangan Agung (1978-1983). Keduanya sejalan bahkan sampai di penghujung khidmahnya. Tidak ada fitnah. Tidak ada saling meniadakan.
Desas-Desus
Di luar isu Kongres NU Medan, di Jakarta, sekira Desember 1956 KSAD Jenderal. A.H. Nasution mendengar desas-desus kalau Kiai Idham ditahan oleh Dewan Gadjah pimpinan Kolonel M. Simbolon. Beberapa waktu sebelumnya, kolonel Simbolon sebagai Kepala Komando Teritorium I Bukit Barisan menyatakan telah mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah dan menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat.
Desas-desus lain yang diterima Jenderal A.H. Nasution (ditulis dalam biografinya), adalah mengenai adanya statemen dari pihak NU yang menyatakan bahwa (jika) selama Kiai Idham ditahan atau tidak di tempat, maka Menteri Ilyas yang ditunjuk menjadi Ketua NU. Kiai Ilyas adalah Ketua II PBNU merangkap Menteri Agama di Kabinet Ali II. Desas-desus yang masuk ke telinga KSAD ini pada akhirnya terkonfirmasi nihil karena memang tidak pernah terjadi penahanan terhadap Kiai Idham.
Dalam pikiran saya, ada yang agak musykil dari desas-desus ini. Misal, menyangkut protap kepemimpinan di NU yang terkesan kaku atau terlampau protokoler. Seperti tidak boleh terjadi kekosongan kepemimpinan. Sementara yang terbangun dan menjadi tradisi, praktik kepemimpinan di NU sesungguhnya lebih bersifat tradisional dan kharismatik. Kalau thoh katakanlah Kiai Idham ditahan, kan masih ada Rais ‘Aam KH Wahab Hasbullah yang justru memegang kepemimpinan utama. Yang baik secara struktural maupun fungsional tentu cukup mumpuni untuk memastikan organisasi tetap berjalan. (Didik Suyuthi)