Gerhana: Mitos atau Sains?

Share artikel ini

Reading Time: 2 minutes

Penulis : Mubin

NgajiGalileo – Ada gerhana!

Jangan keluar rumah;
Jangan melihat matahari;
Kita lihat dari dalam rumah saja!

Begitu dulu seruan orang tua kepada anaknya.

Gerhana dalam perspektif yang berbeda dapat memiliki arti yang berbeda pula, antara mitos ataukah sains?

Di Indonesia sendiri sekitar tahun 80-an pernah ada gerhana matahari yang warga Indonesia tidak boleh melihat matahari ketika sedang berlangsungnya gerhana tepatnya 11 juni 1983.

Saat itu banyak wisatawan asing melihat gerhana matahari dan berdatangan ke Indonesia, tapi warga Indonesia malah dilarang untuk melihat gerhana matahari oleh pemerintah saat itu, warga negara Indonesia diperintahkan untuk melihat gerhana melalui stasiun televisi TVRI, begitu lah cerita rakyat, cerita lelaki paruh baya ketika selesai sholat berjamaah.

Baca Juga:   Kesadaran atas Sains Humanistik di Tengah Pendemi

Masih dari cerita yang sama, masyarakat disini (Jawa pada umumnya) percaya bahwa gerhana matahari dikarenakan ada sesosok raksasa (Buto dalam Bahasa Jawa) yang akan menelan matahari.

Dahulu ketika ada gerhana matahari ramai sekali, semua orang pada pada menabuh benda-benda yang bisa menghasilkan suara nyaring, ibu-ibu yang biasanya menutu (memisahkan gabah dengan beras) padi untuk dijadikan beras, menggunakan alatnya yang disebut lesung dalam bahasa jawa sebagai alat untuk menghasilkan suara.

Iramanya khas, merdu dan teratur beda banget dengan suara mesin penggiling padi modern dizaman sekarang ini.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagi wanita yang sedang hamil disuruh untuk bersembunyi dibawah kolong ranjang atau dibawah meja, hal ini dilakukan dengan harapan ketika anaknya lahir tidak ada cacat pada banyinya.

Baca Juga:   Studi Penuaan dan Kematian, Hipotesis Tingkat Penuaan Invarian

Untuk perkebunan ataupun persawahan jika terjadi gerhana bulan, hal ini juga berlaku dengan cara menggerakan tanaman tersebut dengan harapan tanaman itu tidak tertidur agar buah yang dihasilkan tidak rusak, begitulah lanjutan cerita rakyat yang masih sering kita dengar.

Dalam prespektif negara lain seperti di Cina, mitos bahwa ada naga yang akan memakan matahari ketika terjadi gerhana matahari sudah ada sejak 20 abad yang lalu, hal ini dibenarkan dengan bukti bahwa sekitar tahun 2300 SM cina sudah memiliki bangunan untuk mengamati langit.

“Fenomena langit seperti itu harus diantispasi karena bisa jadi petanda buruk bagi kaisar.”

Dr. Sten Odenwald – Depatemen Fisika Catholic University of America.

Masih menurut Odenwald para kaisar Shang (1766 – 1123 SM) para kaisar di cina sangat lah mempertimbangkan kepada para ahli perbintangan untuk memutuskan berbagai kebijakan baik ekonomi, politik maupun budaya, seperti ditulis dalam halaman media detik. (Senin, 08 februari 2016)

Baca Juga:   Teks yang Berkaitan dengan Sains

Selain cerita rakyat yang berkembang, ternyata tradisi membuat kegaduhan  yang dilakukan oleh masyarakat juga ada di buku ‘Gerhana Matahari Total’ yang ditulis oleh astronom ITB Djoni N.

Dalam prespektif sains sendiri sudah banyak literasi yang mengupas terkait fenomena ini, fenomena gerhana matahari adalah terhalanganya sinar matahari kebumi disebabkan posisi yang sejajar antara matahari – bulan – bumi, derajat kesejajaran ini membedakan jenis gerhana matahari, dapat terjadi gerhana total, parsial maupun gerhana matahari cincin.


Share artikel ini

Recommended For You

2 Comments

Tulis Komentar