Reading Time: < 1 minute
Seorang Ketua RT (Rukun Tetangga) dilorot oleh warganya lantaran tidak mau mendata semua warga menjadi sasaran penerima BLT DD (Bantuan Langsung Tunai Dana Desa). Begitu tulisan status WA (Whatsapp) seorang teman yang terbaca pagi hari tadi. Refleks, dada berdesir membacanya. Tak tahu harus menanggapi seperti apa seharusnya.
Hanya terbesit sejumlah tanda tanya yang tak terucap. Apakah warga desa -yang belakangan terdapat informasi tambahan- berbatasan dengan kecamatan Kota Bojonegoro, di lingkungan tersebut tidak ada yang hidup berkecukupan?. Sehingga semua terancam kelaparan ditengah wabah Covid-19, yang mengharuskan harus dicatat tanpa kecuali sebagai penerima bantalan sosial ekonomi bagi masyarakat miskin.
Sore harinya terdengar kabar burung lagi, semua desa pada sebuah kecamatan bersepakatan tidak menganggarkan BLT-DD pada Perubahan APBDes-nya. Untuk kedua kalinya, mendadak kaget. Ya pasti lah, tentu tidak ada kaget yang direncanakan.
Dugaan sementara, dari dua peristiwa -yang semoga salah- atas alasan demi kemaslahatan, eh demi keselamatan bersama. Sama rasa, sama rata. Yang kaya, yang miskin harus dapat semua. Yang miskin dan yang kaya sekalian tidak dapat semua. Eh, tentu semua tahu kan?! Itu bukan selametan, yang brekat-nya harus dibagi rata?!.
Jika curhatan kegelisahan terdengar mereka yang dimaksud pada tulisan ini, sebagian responnya dapat diduga. Mereka tidak mengalami, bisa ngomong seenak udelnya. Preseden buruk kegaduhan bantuan sosial ternyata masih menjadi momok yang mencekam.
Memang kompleks dan rumit. Tetapi, resiko seorang pemimpin adalah bertanggungjawab atas rakyat yang dipimpin dan mengambil keputusan untuk kebaikan bersama. Kerja-kerja kemanusiaan harus terus diarus-utamakan.
Kenapa yang masih bisa bertahan hidup juga minta dijatah? Kenapa yang punya jalan dan sumberdaya untuk menolong yang tidak mampu, enggan melakukan?. Awal kegaduhan yang sangat bisa diprediksi, meski seharusnya bisa dihindari.
Andai saya jadi rakyat… Andai jadi pengambil keputusan. Ah Sudahlah… Kita lanjutkan tulisan ini lain waktu. Dada ini masih berdesir meski telah menghela nafas panjang.
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Mustakimra