Reading Time: 3 minutes
Oleh Didik Suyuthi
“Orang macam Mahbub mungkin tidak kelihatan strong and powerfull, tapi malahan bisa lincah. Sayang dia belum pernah memimpin PBNU,” tulis Pemimpin Kelompok Kompas-Gramedia, Jakob Oetama dalam memoarnya.
Kesan impresif ini dituangkannya lewat catatan pengantar Biografi Mahbub Djunaedi, pada 20 Juni 2001. Catatan yang sama, di tahun yang sama pula, dipublikasi ulang dalam buku rampai “Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan”, sebuah buku persembahan menyambut 70 tahun usia Jakob Oetama.
Saya katakan impresif sebab dari memoar yang sembilan halaman itu, Jakob Oetama seperti ingin mengungkapkan kesan yang begitu mendalam, tentang seorang kawan. Seoarang sahabat.
Mahbub memang tak lebih lama usianya dari Gus Dur. Ia bahkan tak sempat menyaksikan gemuruhnya reformasi. Namun meng-angankan seorang Mahbub sebagai pimpinan NU pasca Gus Dur, bukanlah ilusi tak berdasar.
Setidaknya sebagai orang luar yang bukan dari kultur NU, inilah sudut pandang Pak JO – sapaan akrab Jakob Oetama – tentang idealitas seorang Mahbub, dan tentang kepemimpinan NU.
Ketika Mahbub terpilih sebagai ketua umum PWI pusat, beberapa pekan menyusul peristiwa G-30-S/PKI, tanpa ragu ia mengangkat Jakob Oetama sebagai sekjennya. Dari sinilah, keduanya saling mengenal watak dan kelebihan masing-masing.
Sebagai sahabat, keduanya terus saling membersamai. Hingga peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Bahkan hingga sama-sama duduk di DPR. Pada 1977-1982 Mahbub mewakili Partai NU di DPR-MPR, dan Jakob Oetama menjadi wakil Golongan Pers.
Kala itu di penghujung 1965, kenang Jakob, adalah zaman peralihan. Situasinya tak normal dan runyam. Muatan PWI bukan hanya profesionalisme. Keadaan juga memaksa mereka terlibat dalam urusan politik dan ideologi.
Dari cara Mahbub memimpin PWI, Jakob mendapati corak kuat yang menurutnya mencerminkan kultur NU. Meski tidak utuh.
Taruhlah saat PWI harus menghadapi apa yang disebut gerakan wartawan komunis. Mahbub bisa saja ambil sikap keras dan efektif. dengan memburu para wartawan yang pro-PKI itu. Dalihnya jelas, TAP MPR memerintahkan mereka untuk ditindak.
Tapi itu tidak dilakukan. Bagi Mahbub, menindak mereka harus tetap secara hukum dan manusiawi. Dia menyadari era politik sudah berubah. Kalau mereka harus berhenti, berhenti saja. Tidak perlu dikejar-kejar sampai keluarga dan anak cucunya.
Dengan gayanya yang santai dan tetap berhumor, Mahbub memilih sikap lunak itu. Melawan arus besar saat itu. Sikap yang bukan hanya ditentang oleh tentara. Bahkan menyulut dinamika yang juga keras di internal PWI. Mosi PWI Cabang Jakarta yang diketuai Harmoko, misalnya, mengutuk habis sikap Mahbub yang tak umum ini.
Bergaul dengan Mahbub, dan sederet aktivis beken NU lainnya seperti Abdurrahman Wahid, Djamaluddin Malik, Subchan, Said Budairy, dan Chalid Mawardi, pelan-pelan menumbuhkan pengertian pada diri Pak JO tentang kesamaan-kesamaan di antara mereka, yang kemudian dia persepsikan sebagai kultur NU.
Dalam pandangan Pak JO, Mahbub dan kebanyakan kader-kader NU lainnya, dalam berbagai pilihan sikapnya acap kali take it easy, tidak ngotot. Mengalir tenang seperti air, tetapi menerjang segala apa yang mengahalangi.
Mahbub, dengan gaya bahasanya yang lincah, semau gue, tetapi memikat dan sarat humor sekaligus “sinisme”, dikenang Pak JO bukan sebagai sosok yang revolusioner tetapi sosok reformis. Ide besarnya tetap pada seputar kebebasan, humanisme, demokrasi, supremasi hukum, dengan tetap mempertimbangkan realitas.
Kalau memang harus diubah tidak bisa total dan seketika. Mahbub adalah tipe yang lebih meyakini bahwa perubahan harus dilakukan secara bertahap.
Yang dikenang dari kepemimpinan Mahbub, ia tetap bisa menjaga jarak aman dengan semua penguasa. Meski dikenal dekat dengan Bung Karno, Mahbub tidak berusaha mendekatkan diri. Dengan Pak Harto pun demikian. Padahal kesempatan seribu persen ada.
Pak JO juga meyakini, seandainya Mahbub masih ada ketika Gus Dur jadi Presiden, dia juga tidak akan mendekatkan diri. Malahan boleh jadi akan mengingatkan terus dengan gaya “sinisme”nya.
Pak JO melihat Mahbub sebagai pribadi ideal yang mungkin bisa ditahbiskan dalam kultur NU. Mahbub selalu berpijak pada realitas masyarakat. Ekspresinya cukup toleran dalam menghayati agama. Untuk masyarakat Indonesia, paham dan watak seperti dibawakan Mahbub ini, menurut Pak JO, sangat dibutuhkan.
Sebagai outsider NU, Pak JO mengakui, NU adalah pilar utama yang ikut menopang Indonesia. Di tengah multikulturalisme yang majemuk, sikap kebangsaan NU harus memberi rasa aman kepada banyak pihak.
“Tapi mungkin ini fakta. NU sering terbawa kekuasaan di bawah tangan ketua umumnya, dari waktu ke waktu. Itu neture dari power. Dan power selalu tidak mempersatukan. Selalu ingin bertahan. Dimana-mana, dalam sistem apapun,” Demikian Pak JO dalam sub judul khusus, Mahbub dan NU.
“Di intern NU pun begitu. Ada yang jago menggunakan kesempatan untuk mencapai ambisi politik. Dalam kondisi seperti itu, harus ada pihak yang memperingatkan terus-menerus,”. Lanjutnya.
“Menurut saya, civil society yang dibangun Gus Dur sejak awal 1980-an tidak dimaksudkan untuk kekuasaan, tetapi untuk mewujudkan equilibrium, agar Indonesia tidak membeku pada salah satu ekstrem,” Pak JO berupaya menggaris-bawahi telaahnya.
Pak JO menengarai beberapa hal yang membuat Mahbub kurang dihitung di lingkungan NU tradisional. Antara lain, – dan yang menurut saya paling menohok -, karena dia orang Betawi. Dan Betawi, NU-nya lemah. []
#Pengagum Mahbub Djunaidi