Reading Time: 2 minutes
Penulis : Al Muiz Liddinillah
NgajiGalileo – Perahu siapa yang layak dinaiki dan mampu membawa keselamatan diri kita adalah perahu kita sendiri. Kesannya terlalu egois, tapi tunggu dulu. Bisa jadi perahu ini akan berlabuh mengajak kita pada kelimpahan keselamatan.
Beberapa bulan ini kita semua dihadapkan pada kenyataan pandemi virus Covid19, sebut saja korona. Korona yang akrab di telinga masyarakat adalah virus yang nyata adanya dan mudah menular melalui duplet, atau air liur kita. Sehingga, kita semua dianjurkan menggunakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak.
Penyebaran korona yang masif itu membuat diri kita terpaksa bekerja di rumah. Dari sanalah nasib pekerjaan menjadi tidak jelas. Sehingga menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat- seperti apa wujud nyata kerja dari rumah yang benar-benar menghasilkan dan mendapatkan uang? Apalagi bagi kalangan buruh pabrik, yang tak ayal menimbulkan PHK.
Semuanya terkena dampak korona, semua pekerjaan. Hal yang paling penting saat ini adalah cara bertahan hidup. Pertahanan inilah yang perlu menjadi pelajaran penting bagi kita semua, apapun pekerjaannya.
Memang, di setiap benak kita uang adalah segalanya, tapi cobalah sedikit kita kembali kepada masa lalu. Ya anggap saja belajar dari nenek moyang kita yang tidak mengenal uang. Mereka hidup di hutan, gunung, atau pinggiran laut- untuk berburu, meramu, dan menanam makanannya sendiri.
Tanpa uang mereka bisa hidup. Dari sanalah kita bisa mengambil pelajaran, dengan menanam kita bisa makan. Dari makan kita bisa bernafas, dan kita bisa hidup.
Isu besar kedaulatan pangan ini terlalu jauh, mari kita geser sedikit pada kemandirian pangan. Kemandirian pangan adalah wujud keberdayaan kita dalam membangun kesadaran menanam dan memakan hasil tanaman kita secara mandiri. Yah, mencoba mencari alternatif saja di tengah pandemi.
Beberapa cerita dari tetangga memang ironis, di mana harga hasil pangan turun drastis, hingga setengah harga, di antaranya cabe, terong, jagung, dan singkong. Tentu jika dikonversi tenaga dan modal kerja yang dikeluarkan tidak sebanding dengan penghasilannya. Jika demikian yang terjadi, kalangan petani ini yang akan oleng.
Fenomena itu membawa pada olah pikir penulis, bahwa di masa sulit ini orang yang paling berdaya adalah orang desa. Orang desa yang bercocok tanam dan memanen kebutuhan dapurnya sendiri. Tanpa perlu pusing dan memutar strategi pemasaran, mereka sudah punya kekayaan alamnya sendiri.
Bahkan beberapa orang juga memilih mensedekahkan hasil pangannya ke tetangga yang membutuhkan dari pada menjualnya ke tengkulak. Dari bertanam itu ada kepedulian. Selain berdaya bagi dirinya dan keluarganya- kampungnya pun juga akan berdaya.
Sedangkan bagi beberapa orang yang tidak memiliki lahan begitu luas, juga ada alternatif bertanam secara minimalis, misalnya dengan memanfaatkan pot atau plastik bekas, atau bahkan hidroponik murah-murahan. Bertanam juga bisa dilakukan secara sederhana. Karena lahan yang dipunya tidak begitu luas, boleh lah ditanami beberapa tanaman yang mudah hidup dalam berbagai cuaca, murah, panen dalam waktu yang cepat, dan bergizi.
Kriteria tanaman yang bisa ditanam dalam lahan yang minimalis dan penulis raya beberapa tanaman ini adalah kebutuhan makanan kita semua, sepert; cabe, tomat, sayur, kacang-kacangan, dan sedikit rempah. Tanaman itu bisa buat tabungan kita saat pandemic seperti ini. Pengelolaannya juga cukup muda, cukup rutin disiram air dan diberi pupuk- kompos organik misalnya.
Dari budaya tanam dan mandiri itu bisa dijadikan pola hidup survive, ada atau tidaknya korona. Tanaman dan budaya menanam itu adalah tabungan kita semua untuk menghidupi keluarga kecil kita. Keluarga yang berdaya dan bergembira dengan memakan yang ditanamnya sendiri.