GANDOLAN SARUNGE CHAPLIN

Share artikel ini

Reading Time: 2 minutes

Gandolan Sarunge Chaplin – Cita-cita Gus Im ternyata ingin masuk surga bareng Charlie Chaplin. Aktor komedi bisu yang populer di tahun 1940an ini, bagi Gus Im adalah sosok aktor pejuang. Layak diidolakan. 

Bagi Gus Im, Chaplin adalah sosok humanis sejati. Menapaktilasi perjalanan hidupnya, Gus Im menyebut Chaplin sebagai pelawak abadi yang selalu dalam kesedihan. Ia adalah sosok komedian jenius yang mampu menghadirkan kegelisahan-kegelisahan dalam bentuk lain dalam aksi-aksi jenakanya.

Ketika totalitarianisme Nazi membunuh berjuta-juta nyawa di daratan Eropa, dan nyaris tak ada satupun kekuatan yang sanggup melawan fasisme kejam itu, Chaplin seorang diri melawan. Sederhana, ia menirukan bentuk kumis sang pemimpin absolut, Adolf Hitler. 

Dalam sesi wawancara di premier komedi bisu layar lebarnya, The Great Dictator (1940), Chaplin berterus terang memakai kumis sikat gigi sebagai bagian peran memarodikan Hitler. Hebatnya, ia menyebut kumis persegi ala fuhrer Und Reichskanzler itu justru memberi kesan penampilan jenaka.

Baca Juga:   Masker

Andai saja Chaplin boleh bicara blak-blakan, The Great Dictator sebenarnya bagian dari upaya sangat serius yang dilakukannya untuk secara terbuka mencemooh Hitler. The Great Dictator pendek kata adalah bentuk sikap politik seorang Charlie Chaplin dalam upayanya melawan fasisme. Dengan lelucon komikalnya, Chaplin seperti hendak mengatakan dengan emosional kalau Hitler sejatinya tak lebih dari badut konyol!     

The Great Dictator sengaja dirilis bertepatan saat Hitler meniti puncak kejayaannya. Tanpa ragu, parodi terbuka ditampilkan. Adenoid Hynkel menjadi nama tokoh untuk memplesetkan Adolf Hitler. Negara Tomainia untuk memplesetkan Jerman. Lambang tanda silang dobel untuk menggantikan simbol swastika Nazi. Dan seterusnya. Dengan kejeniusannya, The Great Dictator sukses membuat dunia sejenak ‘terpingkal’ menyaksikan ‘ketoprak’ bengis-getirnya Perang Dunia II.

Namun bukan tanpa rintangan. Beberapa saat setelah film ini diluncurkan, Chaplin diusir dari Amerika. Filmnya dilarang diputar di Spanyol, Italia, Irlandia dan puluhan negara Jermanik lainnya. Chaplin juga sempat jadi bulan-bulanan polisi dan politisi.

Baca Juga:   Tantangan Kader Eksakta di Hadapan AI

Film satire karya emas Chaplin lainnya adalah Modern Times (1936). Disini ia memerankan diri sebagai Tramp kecil, sosok buruh yang berjuang untuk bertahan hidup ditengah tekanan kapitalisasi industri.

Modern Times, dalam komentar Gus Im, sebenarnya merupakan kritik pedas Chaplin terhadap industrialisasi modern yang berlangsung di Amerika utamanya, dimana pemodal raksasa mencekik leher berjuta-juta buruh dengan dalih sistem padat modalnya.    

Dengan kekuatan pantomim dan lelucon komikalnya, satire politik Chaplin ini nyatanya ampuh. satu sisi ia seolah hendak membalik memori bawah sadar dunia tentang mimpi-mimpi buruk seputar holocaust, genosida, dan kengerian-kengerian Perang Dunia II lainnya.

Disisi lain, Chaplin secara berkelas juga ingin membuka mata dunia bahwa obsesi pada rasisme bukanlah pilihan sikap yang tepat. Bahwa kepemimpinan Hitler yang diktator itu bukanlah jalan menuju kejayaan.

Baca Juga:   Kata-kata Galileo Galilei yang Keren dan Bikin Semangat

Sikap-sikap pribadi Chaplin yang anti rasisme, totalitarianisme, anti perang dan penindasan, diekspresikan hampir di semua film komedi bisunya. “Saya hanya menjajakan perdamaian” sebut Chaplin dalam sebuah wawancara.

Selewat umur limapuluh. Ketika tak sanggup lagi menempa kata. Ketika terlalu lelah untuk membentuk tawa. Aku cuma berdoa agar bisa naik ke surga bersama Charlie Chaplin. Kata Gus Im dalam salah satu bait puisinya.

Gus Im yang pernah menyebut dirinya lebih gila dari Gus Dur, dalam puisi yang sama tak lupa juga mendoakan Chaplin. Perkenankan ia yang pernah menghibur ratusan jiwa masuk ke surga Mu. (Agar aku pun bisa ikut berjalan di belakangnya menghadap Mu), tulis Gus Im dalam tanda kurung.

Sugeng tindak Gus. Panjenengan tiyang sae.. (Didik Suyuthi – Ketua Forum Santri Nasional

*Direfleksikan dari Puisi Hasyim Wahid “Doa untuk naik ke surga bersama Charlie Chaplin


Share artikel ini

Recommended For You

Tulis Komentar