
Reading Time: 2 minutes
Gunung Rinjani bukan sekadar gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia dengan ketinggian 3.726 mdpl. Bagi Suku Sasak, penduduk asli Pulau Lombok, Rinjani merupakan pusat kosmos (pusat alam semesta) yang hidup, simbol identitas kolektif, dan milestone etnopsikologis yang membentuk cara pandang, emosi, serta perilaku psikologis masyarakat selama berabad-abad.
Pusat Kosmos dan “Ibu” Suku Sasak
Dalam kosmologi Sasak tradisional, Rinjani diposisikan sebagai pusat bumi Pulau Lombok – pulau yang dahulu disebut bagian dari Sunda Kecil. Letaknya yang persis di tengah pulau membuatnya menjadi “ibu” bagi Suku Sasak. Konsep ini bukan hanya geografis, melainkan sangat psikologis: Rinjani adalah sumber asal-usul, tempat kembali, dan penyangga eksistensi.
Budayawan Sasak seperti L. Satria Wangsa menegaskan bahwa Rinjani adalah manifestasi pusat kosmos dalam dimensi kepercayaan, ritus, dan mitologi. Kawasan puncaknya sangat disakralkan karena dipercaya sebagai tempat bermukim Ratu Jin Dewi Anjani – sosok ibu agung yang menurunkan keturunan Suku Sasak.
Dewi Anjani: Ibu Arketipe dan Identitas Kolektif
Nama Rinjani sendiri diyakini berasal dari “Rara Anjani” atau “Ratu Anjani” yang kemudian berubah menjadi Rinjani. Dewi Anjani bukan sekadar tokoh mitologi; ia merupakan arketipe ibu dalam psikologi kolektif Suku Sasak (mirip konsep Great Mother dalam psikologi Jungian).
Dalam berbagai naskah kuno berbahasa Sasak seperti Doyan Neda, diceritakan bahwa Dewi Anjani bersama burung sakti mencakar tanah hingga membentuk pulau Lombok, lalu menamai tempat itu Pulau Sasak. Kisah ini menciptakan rasa keterikatan emosional mendalam – Rinjani bukan tempat asing, melainkan rumah leluhur, tempat asal, dan akhir perjalanan spiritual.
Secara etnopsikologis, figur Dewi Anjani memberikan rasa aman, perlindungan, sekaligus kewajiban moral untuk menjaga alam. Ia menjadi anchor psikologis yang membantu masyarakat menghadapi ketidakpastian hidup, bencana alam, hingga perubahan zaman.
Ritual dan Proses Pembentukan Jiwa Sasak
Beberapa ritual utama menunjukkan betapa Rinjani menjadi milestone perkembangan psikologis kolektif:
- Mulang Pekelem (atau Pakelem) — Upacara memohon hujan pada malam purnama dengan menenggelamkan sesajen emas ke Danau Segara Anak. Ritual ini memperkuat rasa ketergantungan sekaligus syukur kepada alam.
- Pedamaran — Penghormatan tahunan kepada dewa-dewi di tepi Danau Segara Anak, yang dianggap sebagai sumber kehidupan dan penyembuhan.
- Ngasuh Gunung — Ritual kontemporer modern di mana masyarakat berdoa untuk keselamatan pendaki dan kelestarian gunung, sekaligus menanamkan nilai leluhur dalam menjaga ekosistem.
Ritual-ritual ini berfungsi sebagai proses inisiasi kolektif yang terus-menerus memperbarui ikatan psikologis antara individu, komunitas, dan alam. Mereka yang lahir dan besar di kaki Rinjani sering mengalami rasa hormat yang mendalam (awe), rasa takut yang sehat (respect), serta rasa bangga identitas yang kuat.
Tantangan Zaman dan Ketahanan Psikologis
Di era modern, ketika wisata massal dan perubahan iklim mengancam kelestarian Rinjani, nilai etnopsikologis ini justru menjadi sumber ketahanan. Konsep bahwa “jika pansek (pondasi/pusat) goyah, maka bumi (Lombok) juga goyah” mencerminkan pemahaman holistik tentang keseimbangan jiwa dan lingkungan.
Saat pendaki dari berbagai penjuru dunia menaklukkan jalur terjal menuju Puncak Dewi Anjani atau menikmati kebiruan Segara Anak, jarang mereka sadar bahwa mereka sedang melintasi ruang sakral yang telah membentuk psikologi satu suku selama ratusan tahun.
Penutup
Gunung Rinjani bagi Suku Sasak bukan sekadar objek wisata atau tantangan fisik. Ia adalah milestone etnopsikologis– titik acuan yang terus membentuk rasa identitas, rasa aman eksistensial, tanggung jawab kolektif, dan hubungan harmonis dengan alam.
Di tengah hiruk-pikuk zaman yang serba cepat, Rinjani tetap berdiri tegak sebagai pengingat: bahwa jiwa suatu bangsa tidak hanya dibentuk oleh sejarah politik atau ekonomi, tetapi juga oleh gunung suci yang menjadi ibu, pelindung, dan cermin batin kolektifnya.
Rinjani –tinggi, tegak, dan abadi– tetap menjadi pusat kosmos psikologis Suku Sasak. Selama gunung ini masih berdiri, identitas Sasak akan terus hidup. (Mastur Sonsaka)