Reading Time: 3 minutes
Soe Hok Gie adalah salah seorang pemuda idealis yang berani menentang kemunafikan. Meski mati muda, ia telah memberikan pesan bagaimana seorang anak muda bersikap konsisten di tengah pragmatisme.
Beliau adalah seorang aktivis yang melegenda dan sangat di kenang berkat tulisan-tulisannya yang sangat tajam dan kritis. Catatan harian Gie di bukukan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983) yang masih terus di cetak dan dibaca oleh banyak kalangan mahasiswa hingga sekarang.
Kata-kata Soe Hok Gie tentang mahasiswa, alam, gunung, dan cinta sangat di sukai oleh banyak kalangan anak muda. Apalagi kata-kata Soe Hok Gie tentang pemuda, keberanian, dan demokrasi yang sungguh sangat luar biasa.
Soe Hok Gie adalah Seorang Legenda
“Saya sadar betapa sulitnya untuk menanamkan kembali rasa hormat manusia-manusia Indonesia yang di besarkan dalam suasana ‘mass murder’ ini terhadap hidup. Bagi saya, kehidupan adalah sesuatu yang agung dan mulia.”
Soe Hok Gie
Ia lahir di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1942, dan meninggal di Gunung Semeru tepat sehari sebelum tanggal lahirnya, yakni 16 Desember 1969. Ia adalah aktivis mahasiswa 1966 yang namanya paling berkibar saat itu.
Meskipun Gie sering berada di balik layar, namun sejarah juangnya sampai kini tidak memudar. Tulisan-tulisannya mampu membius mahasiswa saat itu untuk mengambil sikap di tengah krisis politik yang terjadi pada masa Presiden Sukarno.
Seperti yang pernah ia tulis dalam catatan harian tanggal 10 Desember 1959; ”Siang tadi aku bertemu dengan seorang yang tengah memakan kulit mangga… Dua kilometer dari sini ‘Paduka’ (Presiden Sukarno) kita mungkin sedang tertawa dan makan-makan dengan istrinya yang cantik-cantik.” quote soe hok gie politik itu kotor
Di situlah, salah satu tulisannya yang menggambarkan rasa keberpihakan terhadap kemanusiaan dan rakyat kecil. Gie tetap menjadi sosok yang idealis dan kritis, meskipun presiden telah jatuh dari jabatannya.
Sosoknya yang berempati terhadap rakyat kecil dan keterampilan kemampuan beretorika yang sangat luar biasa telah membuat Gie menjadi seorang legenda. Hal itu terbukti saat kematiannya, banyak pelayat yang datang ke makam Gie.
Kini, surat-suratnya yang telah menguning dan belum pernah di publikasikan itu hadir di Seri Buku Tempo yang berjudul Gie. Surat-surat itu pernah dilarang oleh Arief Budiman, kakak Gie, untuk di terbitkan karena khawatir membahayakan teman-temannya yang masih hidup.
Surat-surat tersebut berisi tentang hubungan Gie dengan teman-temannya sesama para pendaki, kritik terhadap teman-temannya yang berebut jabatan setelah Presiden Sukarno jatuh, dan juga soal pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia.
Sosok Soe Hok Gie Yang Independen
Soe Hok-gie kerap ikut dalam aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, termasuk aksi yang di buat oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Lebih dari itu, ia juga ikut merancang aksi, meskipun sebenarnya ia bukan anggota dari berbagai organisasi massa.
Gie bukan anggota KAMI, dan ia juga bukan pejabat teras organisasi yang ada di kampus. Menurut Aristides Katoppo, kawan Gie yang sekaligus wartawan Sinar Harapan, mengungkapkan: “Bagi Hok-gie, mahasiswa tak seharusnya berpolitik praktis.”
Sebagai salah satu tokoh intelektual kampus, Gie suka terlibat dalam berbagai diskusi-diskusi kecil untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Selain itu, Gie juga terlibat aktif dalam diskusi besar di kampusnya untuk membahas peliknya politik bangsa saat itu.
Meskipun ia tidak menjadi anggota organisasi massa yang besar, seperti HMI, PMKRI, PMII, maupun KAMI. Gie memiliki akses ke organisasi tersebut, dan bisa berdebat dengan sangat percaya diri dengan mereka di forum yang besar.
Gie juga banyak menyebarkan gagasan serta pemikiran melalui tulisannya yang kritis dan tajam, seperti tulisannya yang di muat di Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Harian KAMI, dan Mahasiswa Indonesia.
Ia juga mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui Radio Ampera dan Radio UI. Bagi Gie: “Perjuangan mahasiswa bukan sekadar menurunkan harga bensin, tapi juga menegakkan keadilan dan kejujuran.”
Menurut Aristides, tulisan Gie bisa mencerminkan zamannya; “Dulu wartawan kebanyakan partisan, sedangkan Gie bisa melihat sejarah dan sangat independen.”
Semeru dan Gie
Pada awalnya, kegiatan pendakian itu di lakukan atas gagasan Gie yang ingin merayakan ulang tahunnya di Semeru. Namun, pada akhirnya Hok-gie meninggal dunia beberapa jam sebelum ia merayakan ulang tahunnya yang ke-27.
Tim pendakian ke Gunung Semeru saat itu adalah, Aristides, Hok-gie, Herman Onesimus lantang, Abdurrachman (Maman), Anton Wijaya (Wiwiek), Rudy Badill, Idhan Dhanvantari Lubis, dan Freddy Lodewijk Lasut.
Menurut Herman, Hok-gie dan Idhan tidak tahu jika kawah Jonggring Seloko menyemburkan gas beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau. Saat di puncak, posisi Herman saat itu berdiri, dan Hok-gie duduk bersama Idhan, karena itu mereka berdua menghirup gas beracun.
Kemudian, Aristides yang mendengar cerita langsung dari Herman tentang tewasnya Hok-gie dan Idhan, langsung bergegas turun gunung bersama Wiwiek dan menghubungi Letnan Kolonel Broeke Tumengkol melalui warung telepon di Malang Kota.
Selain itu, Aristides juga menghubungi Bebes Lasut (kakak Freddy), dan beberapa anggota pecinta alam di Malang.
Pada tanggal 24 Desember 1967, jenazah Soe Hok-gie dan kawannya Idhan diterbangkan bersama rombongan dengan menggunakan pesawat Hercules TNI Angkatan Udara ke Jakarta.
Akhir Kata
Sekian kata-kata Soe Hok Gie beserta sejarah singkatnya. Semoga bermanfaat buat kamu semua pecinta biografi salah satu tokoh legendaris Indonesia. Terima kasih, salam pencerahan dari ngajigalileo
Sumber: https://pimtar.id/books/gie/9465eec68d54df92256147856