Reading Time: 3 minutes
Oleh Didik Suyuthi
Pada 1991, Gus Miek pernah menyarankan sebaiknya Gus Dur mundur dari NU. Ini berdasar pengakuan Gus Dur sendiri dalam catatan “Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan” di kolom Harian Kompas, 13 Juni 1993.
Gus Miek ngasih masukan, perjuangan menegakkan demokrasi, akan lebih baik bila dilakukan secara soliter (lepas dari embel-embel NU). Ini penting agar Gus Dur bisa lebih taktis dalam melayani beragam persoalan masyarakat di berbagai lapisan.
Jika merunut waktu, saran Gus Miek ini sepertinya berkenaan dengan Fordem, fokus aktivitas lain Gus Dur diluar posisinya sebagai Ketua Umum PBNU.
Tahun itu, lewat media rutinan reboan, Gus Dur bersama tokoh-tokoh pro-demokrasi lainnya, mendeklarasikan Fordem, menyusul penolakannya bergabung dengan ICMI.
Saat itu, ICMI dituding tak lebih sebagai kotak baru sektarianisme yang dibentuk untuk melanggengkan kekuasaan Pak Harto.
Mulanya Fordem lahir sebagai forum intelektual, forum diskusi dan kebudayaan. Tetapi lantas terkonsolidasi menjadi gerakan advokasi dan perlawanan. Fordem, secara terbuka mencoba menangkal wacana tunggal dan hegemoni Orde Baru.
Dalam waktu cepat, secara massif, Fordem kemudian menjadi kekuatan oposisi sipil oposisi. Disinilah kelincahan Gus Dur memainkan dua peluru. Sebagai penggagas Fordem melawan pemerintah, tetapi sebagai Ketum PBNU tetap menjaga hubungan – yang kalua boleh saya sebut – rekonsiliasi akseleratif, dengan pemerintah.
Terkait saran Gus Miek, Gus Dur, saya rasa cukup menyimak. Meski tidak meladeni sepenuhnya, pun juga tidak mengabaikan sepenuhnya.
Gus Dur sempat menyampaikan pilihan mundur dari Ketum PBNU. Meski tidak benar-benar dilakukan. Itu saat Gus Dur ditekan dan diminta berhenti melibatkan diri di politik (Fordem) dan fokus saja mengurusi umat (NU).
Singkat cerita, memasuki awal tahun 1992, Pak Harto makin geram dengan mimbar-mimbar bebas Fordem. Dampaknya, aparat makin aktif memantau dan membatasi kegiatan tokoh-tokoh Fordem.
Sebagai penggagas, Gus Dur bahkan sempat dipanggil ke Istana untuk mengklarifikasi ini dan itu. Tetapi bukan Gus Dur namanya kalau mudah bertekuk lutut dihadapan penguasa.
Klimaksnya terjadi ketika momen Harlah ke-66 NU. Ditengah kekangan terhadap tindak-tanduknya di Fordem, Gus Dur justru menggelar Rapat Akbar NU di Parkir Timur Senayan.
H-2 Rapat Akbar digelar, Gus Dur baru berhasil mendapatkan rekom (izin kegiatan) dari Kementerian Dalam Negeri. Itupun setelah Pj. Rais ‘Aam PBNU KH Ilyas Ruhiyat berkali-kali meyakinkan bahwa agenda show of force NU ini murni untuk menegaskan kesetiaan warga NU pada NKRI, Pancasila dan UUD 1945.
Tetapi cawe-cawe pemerintah sepertinya tak cukup selesai di perizinan. Izin turun dengan catatan intervensi hingga di kepanitiaan.
Bukan hanya itu, pada detik akhir jelang Rapat Akbar, datanglah utusan khusus Pak Harto. Seorang perwira menengah aktif. Menyampaikan ‘pesan khusus’ yang pada intinya menegaskan bahwa berbagai gerakan Gus Dur dengan Fordemnya sudah menerabas garis yang ditetapkan pemerintah.
Atas dasar itu, Gus Dur diminta tidak melibatkan diri lagi dalam politik dan fokus mengurus umat. Gus Dur juga diminta untuk me-lead dalam pidatonya poin dukungan NU pada kepemimpinan Pak Harto hingga periode berikutnya.
Mendengar pesan bernada ‘memaksa’, ini, Gus Dur malah mengancam balik. Disampaikannya, jikalau permintaan Pak Harto adalah untuk melepas Fordem, maka pilihan Gus Dur lebih baik mundur dari PBNU.
Sikap Gus Dur jelas. Baginya, menyikapi keadaan saat itu bukan semata soal menyiapkan barisan massa. Tetapi soal bagaimana mengoreksi dan membangun bangsa ini bersama-sama. Inilah kenapa Gus Dur aktif merangkul intelektual lintas ideologi dan agama.
Pelajaran penting dari pilihan sikap ini adalah bahwa Gus Dur dengan seksama mencoba menghindari jebakan fanatisme keagamaan, yang pada gilirannya hanya menjadi stempel bagi kepentingan politik penguasa.
Di hari berpulangnya Gus Miek pada Juni 1993, ditengah dinamika hubungan PBNU dan Pemerintah yang terus bergejolak, Gus Dur seperti menemukan kesadaran baru senyampang setengah nggetuni (menyesali) satu hal.
“Baru sekarang saya sadari, menjelang saat kepulangan Gus Miek. Bahwa ia membaca tanda zaman lebih jeli daripada saya. Bahwa dengan “Menggendong” Beban NU, upaya menegakkan demokrasi menjadi tidak semakin mudah. Karena para pemimpin NU yang lain justru tidak ingin kemapanan yang ada diusik orang. Dari tokoh inilah saya belajar untuk membedakan apa yang menjadi pokok persoalan dan apa yang sekadar ranting,” demikian duka sendu Gus Dur.
Lahu Alfatihah..
*Pengagum Perjuangan & Pemikiran Gus Dur