Reading Time: 2 minutes
Kata penyanyi dangdut kawakan, Rhoma Irama dalam lagunya, ada seribu satu macam cara orang mencari makan. Kita fahami ada tak terhingga pekerjaan atau profesi manusia dalam mencari nafkah dan mengaktualisasi diri. Pada era dunia digital seperti yang terjadi saat ini, meski banyak profesi hilang ditelan zaman, juga banyak lahir profesi baru yang belum terprediksi sebelumnya.
Sebagian generasi bisa memilih profesi dengan baik dan ideal. Sebagian lagi menganggur tak kunjung mempunyai pekerjaan yang menghasilkan. Sebagian yang lain, hanya dapat menekuni satu pekerjaan dengan keterpaksaan pada awalnya. Namun tetap ditekuni demi mengais penghasilan untuk menafkahi keluarga tercinta.
Contohnya, adalah profesi sopir mobil ambulance. Jarang ditemukan, generasi muda kita menggenggam cita-cita untuk menekuni profesi tersebut. Namun tetap harus ada sopir ambulance. Dan kenyataannya, masih belum pernah muncul berita, sebuah puskesmas atau rumah sakit kekurangan sopir ambulance. Dan kebetulan sekali, seorang sahabat ada yang mendedikasikan diri, bekerja sebagai sopir kendaraan yang tidak pernah melaju pelan tersebut.
Ada keistimewaan yang tidak dimiliki sopir atau kendaraan umum. Yaitu bebas tidak harus mematuhi aturan rambu lalu lintas. Dan justru, pengguna kendaraan lain harus mengalah dan memberi kesempatan pada kendaraan tersebut.
Setiap pekerjaan selalu ada suka dukanya. Cerita bahagia, kocak, pilu, unik atau masalah pelik selalu ada. Soal prosentase-nya, tergantung tingkat kesabaran dan syukur seseorang yang menjalaninya. Menertawakan diri sendiri kadang bisa menjadi jalan keluar yang baik dalam menghadapi fenomena yang terjadi.
Sahabat tersebut pernah bertutur, dalam profesinya pernah terjadi peristiwa yang tak terhindarkan. Suatu ketika saat malam menuju dini hari ada seorang sopir sendirian mengantar jenazah tanpa seorang ahli waris pun yang menemani. Soal latar bekalang dan identitas, tentu tidak perlu diungkap. Anggap saja ini adalah cerita fiktif.
Saking gugupnya, sopir tersebut tidak menyadari saat melewati jalanan berbatu, keranda terus bergerak menyodok pintu mobil tua hingga terbuka. Dan dia baru kaget saat keranda dan jenazah tersebut jatuh ditengah gerimis yang menyertai datangnya fajar pagi. Dia berjibaku sendirian menata keranda dan mengangkat kembali jenazah tersebut ke dalam mobil, meski dalam keadaan kotor penuh lumpur. Pilu dan akhirnya harus minta maaf pada keluarga jenazah tersebut, saat tiba.
“Kalau sampeyan pernah mengantar jenazah?,” tanyaku.
“Heeee,” dia hanya tertawa singkat.
“Kalau mengantar orang kritis ke rumah sakit?!” tanyaku lagi.
“Pernah,” dia merespon singkat.
“Jika baru separuh jalan, pasien meninggal, bagaimana?”
“Ya balik pulang mas. Nanggung bensin sendiri, tidak dapat SPPD, kalah cepat sama malaikat. Makanya, ambulance melaju cepat itu, salah satu alasannya, sopirnya beradu cepat berebut SPPD sama Malaikat maut. Kalau berhasil sampai rumah sakit, berarti malaikat kalah tidak dapat SPPD dari Gusti Allah.” tuturnya memungkasi pembicaraan.
Mendengar cerita itu, hanya bisa termenung kaku. Lucu namun pilu, ibarat anekdot namun memanah nalar kemanusiaan kita yang jarang sekali ber-tafakur akan keadaan tersebut. Terpingkal sejenak, namun hening lama cenderung membeku.
“Oh ya, apa itu kepanjangan SPPD?” tanya teman lain, seperti hendak memecah kepiluan yang menyergap perbincangan.
“Itu lho, Surat Perintah Perjalanan Dinas. Tanda bukti untuk diganti dengan biaya perjalanan dalam menjalankan tugas.” terangnya sembari menyulut rokok dan menghisap dalam-dalam.
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Mustakimra