Reading Time: 2 minutes
Penulis : Mubin
NgajiGalileo – Ketika Wali Songo berkumpul untuk mendirikan masjid Demak, ternyata ada yang datang terlambat, yaitu Sunan Kalijogo. Padahal saat itu, semua kayu untuk dibuat penyangga/tiang sudah siap, dan tinggal kayu milik Sunan Kalijogo.
Apa yang kemudian dilakukan oleh Sunan Kalijogo?
Beliau hanya hanya mengumpulkan sisa-sisa dari tiang untuk mendirikan masjid (tatal). Tatal satu persatu dikumpulkan dan dirapikan dengan menggunakan parang (pedang).
Dalam proses merapikan tatal tersebut, pedang sunan kalijogo mengenai kepala hewan (orong-orong), berhentilah Sunan Kalijogo, kemudian meminta maaf pada Tuhan.
Lalu, di ambil potongan hewan tersebut antara kepala dan badan nya. Tidak lama waktu berselang, Sunan Kalijogo mengambil serpihan kayu jati yang kecil kemudian digunakan untuk menyambung potongan antara kepala dan badan hewan tersebut. Singkat cerita hewan kecil nan mungil itu hidup lagi.
Begitulah salah satu cerita rakyat yang sering dikisahkan seorang kakek tua kepada cucu-cucunya.
Menarik memang cerita itu untuk dicermati, terlepas dari kebenaran cerita tersebut, ada sisi-sisi yang menarik bisa diambil hikmahnya, Pertama kenapa sunan kalijogo mengumpulkan tatal (sisa-sisa) kayu, bukan pergi kehutan untuk mengambil kayu.
Jika hanya untuk memilih atau mencari kayu jati yang bagus-bagus dengan ukuran yang layak di masa itu, apalagi hanya sekedar untuk kebutuhan pembuatan tiang, tentu itu adalah sesuatu yang tidak sulit, melihat kondisi hutan ditanah jawa saat itu masih sangat lebat.
Cerita rakyat yang sangat mashur di atas, jikalau ditarik dijaman yang modern seperti sekarang ini, seperti kegiatan membuat tiang dari limbah kayu adalah teladan yang luar biasa. Dilihat dari sisi ekologi bisa diartikan Sang Sunan sudah berfikir bahwa tumbuhan itu mempunyai peran yang sangat penting, sehingga untuk menebangnya juga tidak sembarangan.
Jika dilihat dari sudut pandang seperti itu, maka Sunan Kalijogo sudah berfikir dan mengajarkan tentang pemanfaatan limbah, serta tentang pentingnya peran hutan bagi kehidupan.
Kedua menyatukan terputusnya hewan orong-orong antara kepala dan badannya. Mungkin benar bahwa saat itu adalah Sang Sunan menyatukan antara kepala dan badan hewan orong-orong.
Namun, tidak jarang ada yang mengatakan bahwa itu hanya contoh (sanepan -Jawa.red-) bahwa yang dimaksud terputusnya antara kepala dan badan binatang tersebut bukan sebenarnya, namun itu hanya sanepan.
Betapa banyak umat manusia yang sudah mulai tidak seimbang antara kepala dengan badannya, tidak seimbang antara pikiran dan hatinya, tidak seimbang antara ucapan dan tingkah lakunya, tidak seimbang antara pemimpin dan rakyatnya.
Di sini lah pesan Sang Sunan, bahwa tugas setiap umat manusia adalah belajar menyatukan antara kepala dengan badan, menyatukan antara ucapan dan perbuatan, menyatukan antara janji-janji dengan pelaksanaan janji tersebut, serta penyatuan antara pemimpin dengan rakyatnya.
Dalam cerita Sunan Kalijogo menyatukan antara kepala dan badan hewan orong-orong tersebut menggunakan serpihan kayu jati. Iya kayu jati, tentu bukan sembarangan kayu, namun ‘kayu jati/kayu sejati’ tentu ini juga ibroh bahwa kita sebagai manusia harus sadar sejatinya hidup ini apa, harus apa dan untuk apa? pemahaman tentang kehidupan dan berbagai dimensinya harus difahami dalam bingkai yang benar.
Kiranya cerita sedikit ini memberi pelajaran yang baik untuk kita teladani, serta mencermati beberapa pesan agar kita berhati-hati untuk selalu menyamakan antara fikiran dan hati, antara dzikir dan fikir, serta antara ucapan dan perbuatan.
Dalam cerita-cerita rakyat sering terdapat makna-makna yang tersirat, dan hal semacam itu sangat efektif serta terbukti sangat disukai anak-anak, meskipun dijaman yang sudah modern seperi sekarang ini.
Pertanyaan – pertanyaan yang muncul adalah apa benar Sang Sunan sudah berfikir dan memberi keteladanan sejauh itu? tentu tugas kita menelaah setiap sanepan-sanepan yang terselip dalam buku-buku dongeng atau yang sering di narasikan oleh seorang kakek tua untuk diceritakan kepada cucu-cucunya, sang kakek sepertinya sedang memberi pelajaran dan bekal moral kepada cucu-cucunya dengan caranya tersendiri.