Segala-galanya Ambyar: Harapan di Tengah Kekacauan

Share artikel ini

Reading Time: 2 minutes

Kita hidup di zaman yang menarik. Segala sesuatu tampaknya lebih baik dari sebelumnya—teknologi maju, makanan berlimpah, kekerasan menurun, dan informasi lebih mudah diakses. Tapi anehnya, semakin maju dunia, semakin banyak orang yang merasa putus asa, cemas, dan kehilangan harapan. Kenapa bisa begitu?

Mark Manson, penulis buku Segala-galanya Ambyar, mencoba menjawab pertanyaan ini. Buku ini tidak hanya membahas tentang harapan, tetapi juga mengapa kita sering merasa hampa di tengah kenyamanan.

Dengan gaya bahasanya yang khas—blak-blakan, lucu, dan penuh sindiran—Manson mengajak kita berpikir ulang tentang makna kebahagiaan dan harapan.

Harapan Itu Penting, Tapi…

Coba bayangkan seorang pria bernama Witold Pilecki. Saat Perang Dunia II, dia secara sukarela masuk ke kamp konsentrasi Auschwitz. Ya, Anda tidak salah baca—dia memilih masuk ke tempat yang bisa membunuhnya. Kenapa? Karena dia punya harapan untuk membebaskan orang-orang dari Nazi. Meski akhirnya banyak yang tidak berjalan sesuai rencana, Pilecki tetap bertahan berkat satu hal: Harapan.

Baca Juga:   Manajemen Jasa Pendidikan Kesehatan

Tapi Manson juga mengingatkan, terlalu banyak harapan bisa jadi jebakan. Kita sering berpikir bahwa kebahagiaan datang dari pencapaian—lebih kaya, lebih sukses, lebih terkenal. Tapi semakin kita mengejarnya, semakin kita merasa hampa. Ini disebut paradoks kemajuan: semakin baik hidup kita, semakin kita merasa hidup ini kurang.

Hukum Newton Tentang Emosi

Manson membandingkan emosi dengan hukum fisika Newton. Dia berteori bahwa:

  1. Setiap tindakan menimbulkan reaksi emosional yang setara. Jika kita diperlakukan baik, kita cenderung membalas dengan baik. Jika kita mendapat perlakukan buruk, kita biasanya akan membalas lebih buruk.
  2. Harga diri kita sama dengan total emosi yang kita alami. Orang yang selalu merasa jadi korban biasanya memiliki harga diri yang rendah, sementara orang yang sering merasa bangga biasanya memiliki harga diri tinggi.
  3. Identitas kita tetap ada sampai pengalaman baru mengubahnya. Kita adalah hasil dari pengalaman kita, dan butuh kejadian besar untuk benar-benar mengubah diri kita.
Baca Juga:   Jejak Keteladanan Kiai Syansuri Badawi

Menjadi Dewasa Adalah Melepaskan Harapan Palsu

Kebanyakan orang berpikir dewasa itu soal tanggung jawab. Tapi menurut Manson, dewasa itu artinya berani melepaskan harapan-harapan palsu. Misalnya:

Harapan bahwa dunia akan selalu adil, kita bisa mengendalikan segalanya, dan harapan bahwa Anda harus selalu bahagia.

Semakin cepat kita menerima kenyataan bahwa hidup ini penuh ketidakpastian dan ketidaknyamanan, semakin bahagia kita.

Penderitaan adalah Mata Uang Kehidupan

Manson berargumen bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa kita kejar. Sebaliknya, kebahagiaan adalah hasil dari penderitaan yang kita pilih untuk kita hadapi.

Orang yang sukses bukanlah orang yang menghindari masalah, tapi yang memilih masalah yang pantas diperjuangkan.

Lihat saja seorang biksu bernama Thich Quang Duc yang membakar dirinya sendiri sebagai protes terhadap ketidakadilan. Bukankah itu contoh paling ekstrem bahwa penderitaan bisa menjadi alat perubahan?

Baca Juga:   5 Rekomendasi Buku yang Bisa Membuat Anda lebih Bersemangat Menjalani Hidup

Kesimpulan: Hidup Tanpa Harapan?

Jadi, apakah kita harus hidup tanpa harapan? Tidak juga. Manson menyarankan agar kita memiliki harapan yang lebih realistis dan sehat. Harapan yang bukan sekadar ilusi kebahagiaan, tetapi sesuatu yang benar-benar bermakna.

Pada akhirnya, hidup ini memang ambyar. Tapi bukan berarti kita harus menyerah. Justru di tengah keambyaran ini, kita bisa menemukan sesuatu yang lebih penting dari sekadar kebahagiaan—makna hidup itu sendiri.

Sumber: Manson, Mark. Everything Is Fcked: A Book About Hope*. Harper, 2019.


Share artikel ini

Recommended For You

Tulis Komentar