Reading Time: 3 minutes
Blok Cepu bisa dikata, salah satu lapangan minyak tua dan terbesar tanah air. Awal 1990-an pengelolaan blok itu masih di tangan Humpuss Patragas. Perusahaan Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Presiden Soeharto itu mendapatkan technical Assistance Contract (TAC) dengan Pertamina.
Singkatnya, keterbatasan dana memaksa Humpuss mendekati Ampolex Australia. Mobil Oil mengakuisisi Ampolex dan kepemilikan saham Humpuss juga beralih ke Mobil Oil paska krisis moneter hebat era 1997-1998.
Meninggalkan abad 19, Exxon merger dengan Mobil Oil menjadi ExxonMobil. Perusahaan ini yang kemudian mengelola Blok Cepu di bawah perusahaan Mobil Cepu Ltd (sekarang EMCL). ExxonMobil ketika itu meminta perpanjangan kontrak kepada pemerintah Indonesia.
Setelah melalui negosiasi panjang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menunjuk ExxonMobil sebagai operator Blok Cepu. Kontrak baru lalu disepakati dengan jangka waktu 30 tahun hingga 2035. Komposisi penyertaan sahamya adalah 45% ExxonMobil, 45% Pertamina, dan sisanya milik BUMD daerah penghasil.
Keterlibatan kepemilikan saham melalui penyertaan modal 10 % (Participating Interest) menimbulkan polemik lokal tentang pengertian daerah penghasil. Akhirnya diputuskan daerah penghasil untuk Blok Cepu adalah Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah.
Tentu saja dengan pembagian porsi yang berbeda. Komposisinya, untuk Pemkab Bojonegoro 4,5 %, Pemprov Jawa Timur 2,2 %, Pemkab Blora 2,2 % dan Pemprov Jawa Tengah 1,1 %. Masing-masing daerah penghasil menunjuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang tergabung dalam konsorsium yang disebut Badan Kerja Sama (BKS) yang akan terlibat aktif bersama EMCL dan Pertamina. Untuk Bojonegoro diwakili oleh PT Asri Dharma Sejahtera (ADS).
Keterbatasan bekal mandiri dalam penyertaan modal yang wajib disetorkan, membuat daerah penghasil pusing. Jalan keluar yang diambil adalah mencari perusahaan penyandang dana. Jalan keluar tersebut ternyata menimbulkan tarik ulur dan silang pendapat, bahkan sampai melibatkan aksi massa. Hal ini terjadi kisaran 2005.
Pada sidang paripurna DPRD 05 Juli 2005, dengan agenda awal pemaparan atau presentasi pengenalan sebuah perusahaan, PT Surya Energi Raya (SER), berubah menjadi penetapan PT SER sebagai mitra PT ADS yang menyediakan dana untuk PI Blok Cepu.
Pada era Bupati (Alm) Santoso, paripurna saat itu dipimpin oleh Ketua DPRD, H. Tamam Syaifuddin setidaknya membuat dua keputusan janggal. Selain menetapkan secara tiba-tiba PT SER menjadi mitra. Juga menyetujui bagi hasil yang jomplang. Bojonegoro hanya mendapat porsi 25 %. Sisanya untuk PT SER. Itupun akan diberikan setelah seluruh modal yang dikeluarkan kembali (BEP).
Bau tak sedap menyeruak ke publik. Dan yang memprihatinkan, dana tersebut tidak murni milik PT SER, namun berasal dari salah satu perusahaan di negeri tirai bambu nan jauh di utara. Kenyataan yang menyesakkan dada masyarakat Bojonegoro.
Terjadilah silang pendapat dan protes. Bahkan terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran dari masyarakat guna menolak PT SER dengan bagi hasil yang tidak seimbang. Sejumlah tokoh, politisi dan pengamat seolah berlomba menyampaikan pendapat di media massa. Baik yang pro maupun argumentasi kontra.
Salah satunya terjadi 15 Juli 2005. Ribuan warga dengan mengendarai puluhan truk bak terbuka yang memenuhi sekeliling alun-alun itu menuntut pembatalan perjanjian dengan PT SER dan mengusulkan masyarakat urunan untuk mendanai kebutuhan modal dalam PI. Meski saat itu belum muncul istilah Surat Utang Negara (SUN) ataupun obligasi rakyat.
Mereka juga membawa masalah tersebut ke ranah hukum. Tepatnya ke Polres Bojonegoro. Salah satu materinya, surat kerjasama telah diteken pada 05 Juni 2005, namun paripurna baru dilaksanakan 05 Juli 2005.
Gelombang protes berakhir, issue PI tenggelam tanpa harapan perubahan yang berarti. Pada rezim Bupati Suyoto selama 10 tahun berjalan senyap. Pemberitaan yang muncul hanya dinamika seputar persiapan produksi Migas di Blok Cepu dengan bumbu cerita perihal kebangkrutan pengusaha lokal saat menjadi sub-kontraktor dalam proyek persiapan produksi.
Dan kemudian, 2018 lalu Blok Cepu telah menjadi penghasil minyak terbesar di bumi nusantara. Dana Bagi Hasil yang diterima juga terbesar dibanding daerah lain pada tahun yang sama. Legenda yang menjadi kenyataan. Namun pemasukan dari PI untuk APBD Bojonegoro masih nihil. Sementara kontrak EMCL dengan pemerintah telah berjalan setengah periode.
Kontraksi ekonomi akibat wabah global Covid-19 yang terjadi pada era Bupati Anna Muawanah membuat orang ingat kembali harapan kesejahteraan yang raib. Kegaduhan bangkit pada pertengahan 2020 ini. Pelaku sejarah telah banyak “ber-evolusi” sikap. Dari Pro menjadi kontra dan sebaliknya.
Upanya Pemkab Bojonegoro melakukan revitalisasi dan menindaklanjuti hasil audit BPK terkait kinerja PT ADS mendapat batu sandungan. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) beberapa kali gagal. Pihak PT SER tak kunjung mau menghadiri dan memilih menunjuk pengacara untuk melaporkan masalah ini ke Polda Jatim. Drama masih terus berlangsung.
Dua belah pihak, antara Pemkab dan PT SER memegang teguh kebenaran yang diyakini. Namun, publik melihat jelas dan terang benderang. Siapa yang hanya membela investasi modal dan siapa yang berupaya menyelamatkan hak kesejahteraan rakyat yang ada pada PI Blok Cepu.
Karl Marx pernah berujar, Uang adalah alasan kita berkelahi. Cuplikan stateman tokoh ini seolah menggambarkan perjalanan panjang PI Blok Cepu dengan seluruh perkelahiannya. Namun siapapun yang tetap berpihak untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Bojonegoro, patut diapresiasi dan didukung. Kita tidak bisa bebas nilai dan bersikap netral. Keberpihakan pada masyarakat adalah keniscayaan, kecuali bagi mereka yang mempunyai kepentingan lain. ***
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Mustakimra