Reading Time: 2 minutes
Sebagai aktivis yang memiliki kebebasan finansial, tentu Anda akan sangat banyak diuntungkan. Minimal ketika ide terpangkas, Anda bisa melakukan apa yang Anda sukai. Jika Anda lelah, maka akan lebih mudah mencari kesenangan.
Apakah benar?! Bisa iya, bisa tidak.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang punya banyak keinginan. Tergantung kemampuan menge-rem-nya, cakram atau tidak.
Misalnya, bagi yang memahami teknologi digital seperti sekarang ini, tentu mendapatkan dollar dari memainkan algoritma akan sangat mudah.
Seperti salah satu kawan yang setiap bulannya rutin mengambil uang dari hasil mengelola YouTube. Hasil jerih payah menganalisis dari berbagai rumus jlimet dan dipadukan dengan kemampuan berkomunikasi yang andal.
Ia sudah tidak berpegang pada viewer dan subscribe dalam menjalankan bisnisnya. Lebih dari itu, kejeniusan yang menuntunnya. Malam adalah tempat suci bersama gadget dan Tuhan, sedangkan siang adalah humanisme.
Setiap bulan ia mendapatkan pundi-pundi yang tidak biasa. Youtuber kelas atas di kalangan mahasiswa. Dan, uniknya ia juga seorang aktivis low profil, tanpa ada siapa pun yang tahu jika kantongnya selalu penuh dengan uang bergambar Soekarno-Hatta.
Ia tidak terjebak dengan hedonisme kaum borjuis. Apa yang didapat, ia kelola untuk pengembangan dirinya dalam menyelami dunia teknologi. Selain itu, ia juga tidak segan-segan mengeluarkan rupiah-nya untuk makanan dan minuman kala kader-kader sedang berdiskusi ria.
Kebebasan finansial yang ia miliki tidak membuatnya buta akan realitas dunia yang semu. Mungkin karena ia pernah di Pesantren, sehingga nilai-nilai keagamaan dan kemanusiannya sangat kental.
Belajar dari hal tersebut, kebebasan finansial bukan lah tujuan utama, tapi bagaimana Anda memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Istilah zaman sekarang, ngopi boleh tapi isinya yang agak sedikit berbobot.
Jadi aktivis di era digital pun demikian. Banyak pilihan dan peluang untuk eksplorasi. Misalnya, tidak harus turun ke jalan untuk perubahan. Banyak cara dan metode agar aspirasi Anda didengar. Namun, jika terpaksa, boleh lah sesekali turun ke jalan. Kata kawan saya, “nggak turun nggak asyik”.
Seperti beberapa issue yang pernah terjadi di awal tahun 2019. Di mana mahasiswa yang diprediksi tidak akan turun ke jalan, namun mereka berani menyuarakan suaranya menentang ketidakadilan dengan semangat milenial yang baru dan fresh, tentu jangan dibandingkan dengan demonstrasi tahun 98.
Hal tersebut tidak lepas dari semangat juang para mahasiswa sebagai penggerak perubahan –agent of change– yang sudah mendarah daging sejak dahulu kala.
Namun saat ini penguasaan terhadap dunia digital, bisa jadi adalah salah satu pilihan terbaik bagi aktivis. Mereka bisa menggunakan media sosial untuk berbagai perubahan, dengan kemampuan dasar yang tentunya harus dimiliki, seperti menulis, memotret, komunikasi, dan juga audio-visual.
Karena itu sangat penting kebebasan finansial bagi aktivis zaman now tanpa harus meninggalkan nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat. Melek teknologi sudah bukan wacana lagi, ia hadir untuk menjawab keraguan kelompok Utopians, di mana kelompok ini tidak menghendaki dan menganggap bahwa Kecerdasan Buatan (AI)yang notabene bagian dari teknologi ini adalah suatu ancaman bagi manusia. (Arthur)
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Beritabaru.co