Reading Time: 2 minutes
Dalam pikiran, alam bawah sadar dan keyakinan Nahdliyin –jamaah NU-, Desember adalah bulan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Begitu juga Januari adalah bulan-nya Nahdlatul Ulama’ (NU).
Ya, ujung Desember adalah waktu berduka karena Gus Dur telah dipanggil yang Kuasa, Haul dan seluruh kegiatan memperingati wafatnya Bapak Bangsa ini tumpah ruah di bulan akhir tahun.
Sedang pada akhir Januari, awal bulan tahun masehi menjadi penanda mulainya seluruh rangkaian kegiatan lahirnya NU pada tahun 1926, hampir seabad dari sekarang.
Era atau zaman kebangkitan Bangsa dalam menganyam persatuan dan kekuatan untuk hidup bebas merdeka dari belenggu kolonial.
NU dalam pengabdian dan perjuangannya tidak lepas dari dinamika. Pernah menjadi Partai Politik peserta Pemilu. Kembali menjadi Ormas. Era Gus Dur pernah mendirikan Partai Politik secara resmi.
Hubungan dengan pemerintah mengalami pasang surut. Sejak presiden Soekarno, Soeharto, dan presiden-presiden paska rezim orde baru.
Namun hal yang dapat dipastikan, NU selalu ambil posisi tegas dalam berbangsa dan bernegara. Menjaga Pancasila dan NKRI sebagai sebuah sistem yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa.
Secara internal, perjalanan NU tidak landai, selalu dipenuhi dinamika. Baik secara keilmuan, keorganisasian dan cara pandang terhadap fenomena eksternal yang berubah-ubah mengikuti zaman.
Termasuk banyaknya kader muda NU yang meminta pembaruan dan melakukan kritik keras terhadap kaum sepuh yang dianggap terlalu anteng dalam menyikapi perubahan zaman.
Dampaknya, acapkali terjadi perselisihan internal, baik yang bersifat laten ataupun terbuka di ruang publik. Bahkan, yang bersifat bisik-bisik, rerasan tetap terjadi hingga saat ini.
Apalagi pada era warung kopi menjamur seperti hujan bulan Januari, deras bertubi-tubi. Namun itu harus terjadi dan akan selalu terjadi.
“NU harus dibersihkan dari pengaruh politik,” tegas seseorang pada teman seperkopian, pada siang yang redup.
“NU tidak bisa lepas dari politik pada aras perjuangan yang telah ditetapkan para masyayih,” tukas yang lain.
“Kadang pikiran kita ini lebih politis, dari politisi,” gumam seorang yang lain, sembari menghisap rokok kretek herbal yang sedang naik daun.
“Saya mau bersih-bersih NU,” pemilik warung menyela obrolan.
Semua mata terbuka kaget. Nafas setengah berhenti. Cangkir diletakkan mendadak. Seolah dunia berhenti mengitari matahari.
“Mau kemana pak?,” seseorang mengawali memecah kebekuan.
“Mau bersih-bersih NU. Kan sudah waktunya. Tugas saya kan bersih-bersih.” Pemilik warung bernama Tolib itu berlalu sambil menenteng sapu tak menghiraukan pelanggannya terkesiap mendengar pernyataan yang membuyarkan serunya rerasan tentang NU.
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Mustakimra