Reading Time: 2 minutes
Penulis : Fauzing04
NgajiGalileo – Tidak memanusiakan manusia atau dehumanisasi semakin kental di era 4.0. Manusia tidak lagi mengenal kodratnya sebagai manusia. Kemudahan dan budaya instan telah mendorong mereka ke jalur merendahkan sesamanya.
Tak pelak jika konflik terus saja terjadi, perang tidak ada henti-hentinya, dan terus saja pembuktian identitas hanya berkutat pada menang dan kalah, salah dan benar, unggul dan lemah.
Bahasa sederhana menanggapi ini mungkin bisa dengan kalimat; “Ngopine kurang adoh!”, tapi ternyata tidak semudah itu.
Mengenal apa itu dehumanisasi?
Dehumanisasi adalah menurunnya nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari kodrat manusia. Beberapa literatur menyebutkan bahwa dehumanisasi adalah penghilangan harkat manusia (KBBI).
Menurut Nick Haslam, dehumanisasi adalah penyangkalan terhadap esensi kemanusiaan. Di mana hal ini lebih menyebutkan bahwa manusia lain seolah adalah binatang.
Seperti yang terjadi dalam politik tahun lalu, konflik antara ‘Cebong’ dan ‘Kampret’ meramaikan media sosial. Penyebutan yang tentu tidak layak disematkan, namun terjadi juga.
Hal itu tentu selaras dengan apa yang dahulu menjadi pemikiran Aristoteles yang menempatkan manusia sebagai unit dari kerajaan binatang. Filsafat Aristotelian tentang manusia yang berarti, bahwa manusia “secara kodrati adalah binatang yang beradab” dan “binatang yang mampu mengumpulkan pengetahuan”.
Lebih lanjut juga bisa dikatakan bahwa manusia adalah “binatang yang berpolitik”, “binatang yang senantiasa menghabiskan waktunya dengan medsos”, dan bisa Anda lanjutkan sendiri.
Jika ingin yang lebih ekstrim lagi adalah dari para pemikir menjelang era Nazi Jerman, di mana manusia adalah suatu benda atau komoditas, yakni :
“Badan manusia mengandung lemak yang cukup untuk membuat tujuh batang sabun, besi yang cukup untuk membuat paku ukuran sedang, fosfor yang cukup untuk membuat dua ribu pentol korek api, sulfur yang cukup untuk mengusir kutu-kutu satu orang.”
Humanisasi, Sains dan Teknologi
Mungkin Anda sudah mengetahui bagaimana pertarungan dua kelompok besar di dunia, yaitu Utopians yang mengganggap kecerdasan buatan (AI) adalah ancaman terbesar manusia, dan Dystopians yang percaya bahwa teknologi adalah jawaban dari segalanya.
Tidak dipungkiri bahwa keduanya memiliki pengikut yang besar. Mungkin Anda salah satu di antaranya, sebagai pengagum teknologi atau sebaliknya.
Stepen hawking pernah mengatakan bahwa, “kecerdasan buatan merupakan akhir dalam sejarah umat manusia.
Namun, bagi Ray Kurzwell menganggap, “20.000 tahun progres akan terjadi hanya dalam 100 tahun ke depan”.
Keduanya memiliki argumen yang sangat kuat untuk meyakini kebenaran tentang apa yang disampaikan. Kemudian, apakah dehumanisasi muncul begitu saja karena teknologi?
Suatu pertanyaan yang tentunya bisa kita kembalikan dalam filsafat Heschel, di mana manusia hakikatnya menempati posisi unik, berdiri di antara keilahian dan kebinatangan.
Semua bergantung pada diri Anda, apakah sains dan teknologi merubah Anda menjadi seorang yang jahat dan anti sosial. Atau kah, malah membuat Anda semakin menjadi manusia yang memiliki nilai-nilai ke-Tuhan-an untuk senantiasa selalu memanusiakan manusia.
1 Comment