Reading Time: 4 minutes
Oleh: M. Yusril Ihza Mastury, S.Si
Bagi beberapa akademikus, keterkaitan agama dan sains merupakan bahasan yang sangat menarik layaknya hidangan paling nikmat namun paling mahal harganya. Bagaimana tidak? Keterkaitan agama dan sains termasuk topik yang paling susah untuk difahami. Seseorang harus mempelajari ilmu tafsir dan ilmu sains secara bersamaan dan imbang untuk dapat memahami ciptaan pemilik semesta. Namun dengan sedikit ilmu yang saya punya, izinkan saya untuk membagikan pengalaman saya dalam menikmati Al Quran secara ilmiah.
Ayat-ayat semesta, istilah tersebut dalam satu dekade terakhir cukup eksis sejak diperkenalkan pertama kali oleh Prof. Agus Purwanto, D.Sc dalam bukunya yang berjudul Nalar Ayat-Ayat Semesta. Ayat-ayat semesta atau biasa dikenal para kalangan santri dengan Ayat Kauniyah merupakan sekumpulan dari sekian banyak firman Allah SWT yang mengandung unsur, kata, atau kalimat tentang alam semesta.
Seperti judulnya, saya akan mengajak njenengan sekalian untuk menikmati alquran secara ilmiah. Namun, sebelum kita menikmati kalam Allah SWT yang begitu indah, perkenankan saya untuk menjelaskan beberapa metode yang nantinya akan saya gunakan. Sekali lagi, tanpa mengurangi segala hormat, saya menerima berbagai kritik, saran, dan komentar tentang metode yang saya gunakan nantinya. Apabila memang diperlukan sebuah forum diskusi kecil (selama tujuan forum tersebut adalah untuk menikmati Alquran secara ilmiah) saya bersedia meluangkan waktu untuk njenengan sekalian.
***
Al Quran pada dasarnya merupakan pedoman hidup bagi seluruh aspek kehidupan. Al Quran sendiri pada umumnya tersusun dari dua jenis penyampaian, yaitu secara tersurat dan secara tersirat. Sehingga penafsiran Al Quran tidak selalu plek-ketiplek dengan apa yang disampaikan. Perlu pendekatan secara lebih untuk memahami maksud dari Al Quran itu sendiri.
Penafsiran Al Quran secara tersurat (eksplisit) adalah penafsiran yang didasarkan pada makna literal dari teks Al-Qur’an. Pendekatan ini menekankan pemahaman kata-per-kata dan kalimat yang jelas serta langsung, sesuai dengan kaidah bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an. Tafsir ini biasanya lebih mudah dipahami karena mengacu pada arti yang eksplisit dalam teks.
Sementara itu, penafsiran secara tersirat (implisit) berfokus pada makna yang lebih mendalam dan tersembunyi dari ayat-ayat Al-Qur’an. Tafsir ini mencoba mengungkap hikmah, filosofi, dan konteks yang lebih luas di balik teks yang tersurat. Dalam tafsir tersirat, para ulama dan ilmuwan seringkali mempertimbangkan latar belakang historis, sosial, serta konteks spiritual dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Para pembaca yang sedang duduk, berbaring, atau berdiri. Menikmati Al Quran secara ilmiah ndak ujug-ujug cocok-mencocokkan satu hingga dua ayat berdasarkan ilmu pengetahuan yang kita dapatkan. Prof. Agus Purwanto, D.Sc merangkumkan tiga metode sederhana dalam menikmati Al Quran secara ilmiah. Namun, perlu dicatat bahwa tiga metode ini harus disertai dengan ilmu tafsir yang mumpuni, bila njenengan masih belum menguasai ilmu tafsir seperti saya, paling sederhana ialah diimbangi dengan ilmu bahasa arab (nahwu dan shorof). Kalau masih ndak bisa, jadilah umat yang taat pada agama nggih.
Tiga metode yang kemudian dijelaskan Prof. Agus Purwanto, D.Sc dalam bukunya Nalar Ayat-Ayat Semesta ialah islamisasi sains, saintifikasi islam, dan sains islam. Islamisasi sains sendiri merupakan metode mengislamkan sebuah teori-teori sains modern yang berkembang hari ini dengan ayat-ayat atau hadis yang terkesan cocok atau lebih dikenal masyarakat awam dengan istilah cocokologi. Salah satu contoh yang paling umum kita temukan adalah penafsiran ayat Al Quran pada surah An Naml yang menjelaskan bahwa koloni semut dipimpin oleh seekor ratu semut, bukanlah raja atau semut jantan.
Dapat saya sederhanakan, metode islamisasi sains ini lebih banyak menggunakan pendekatan secara tersurat (meskipun sebagian metode pemaknaannya menggunakan penafsiran secara tersirat) sesuai dengan pemaknaan ayat-ayat Al Quran tanpa meninggalkan aspek-aspek nahwu dan shorofnya. Namun, metode islamisasi sains ini banyak mendapatkan kritik di kalangan ulama’ karena terkesan terlalu memaksakan dan dapat mengancam eksistensi Al Quran itu sendiri. Hal tersebut disebabkan metode penafsiran Al Quran tidak selalu tersurat, sehingga ada beberapa ayat yang secara tersirat menjelaskan tentang sains ditafsirkan secara berlebihan.
Saintifikasi islam cenderung menjadikan Al Quran atau hadist sebagai landasan dasar dalam pengembangan teori sains. Contohnya, ditemukannya efek samping jangka panjang dalam mengkonsumsi makanan dan minuman haram seperti daging babi dan alkohol.
Sedangkan sains islam sendiri merupakan metode berfikir ilmiah berlandaskan tradisi-tradisi islam dengan tujuan untuk membangun peradaban islam yang baik antara tuhan (hablum minal Allah), manusia (hablum minannas), dan alam (hablum minal ‘alam). Berdasarkan tiga hal tersebutlah kemudian lahir budaya literasi dan berbagai ilmu pengetahuan yang berbasis aqidah islam. Metode inilah yang kemudian akan banyak saya gunakan dalam tulisan-tulisan saya berikutnya.
Sains islam pada dasarnya berbeda dengan sains kontemporer yang banyak diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Bagi para calon ilmuwan muslim macam njenengan sekarang ini tentu harus dapat membedakan keduanya. Perbedaan sains islam dan sains kontemporer terletak pada landasan filsafat ilmu yang digunakan, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. “Duh, istilah apalagi ini ya Allah.” Tenang! saya akan mencoba untuk menjelaskannya dengan bahasa yang amat sangat sederhana. Berdoalah semoga saya berhasil, hehe.
Ontologi merupakan aspek pertama yang membahas tentang pertanyaan “mengapa kita harus meneliti sebuah objek?”. Epistemologi membahas tentang “bagaimana cara kita meneliti objek tersebut?”. Aksiologi sendiri merupakan “Apa tujuan atau manfaat dari hasil penelitian tersebut?” Masih bingung, ndan?
Kita ambil contoh, Joko ingin meneliti manfaat sebuah ampas kopi di rumahnya. Joko ingin meneliti ampas kopi tersebut karena rasa eman-emannya Joko timbul. Rasa eman-eman inilah ontologi dari proses penelitian si Joko. Lantas Joko mengambil buku di lemari kakaknya dengan judul “Sampah Organik Kok Dibuang? Dibuat Pupuk Aja!”, kemudian ia mencari-cari halaman bagaimana cara memanfaatkan sampah organik. Proses pembuatan sampah organik menjadi pupuk inilah yang dinamakan epistemologi. Setelah tahu bahwa sampah ampas kopi dapat dimanfaatkan menjadi pupuk, Joko bergegas mengumpulkan ampas kopi di rumah tetangga-tetangganya dengan harapan bisa menjadi pupuk gratis untuk masyarakat di desanya. Nih ya, kalau ente ndak tau apa manfaat dari proses penelitian si Joko, sepertinya anda harus belajar Bahasa Indonesia lagi di sekolah dasar. Manfaat tersebutlah yang dinamakan aksiologi. Alhamdulillah.
Ontologi dalam perspektif sains islam itu sendiri sebenarnya masih dibagi lagi menjadi tiga. “Waduh!”. Hehe, dikit lagi beres kok.
Calon ilmuwan-ilmuwan muslim seyogyanya memiliki salah satu dari ketiga ontologi yang akan saya sampaikan. Ontologi pertama yaitu berkaitan tentang kebutuhan-kebutuhan pokok atau syariah macam sandang, pangan, papan, dan pasangan buat anda-anda yang sakit sendi (sendirian). Kedua karena terinspirasi dari ayat Al Quran yang berisi tentang pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan pokok atau syariat. Ketiga karena terinspirasi dari ayat-ayat Al Quran yang menantang kita untuk mengembangkan sains dan teknologi layaknya kaum adam yang selalu terinspirasi ayat ketiga di surah An-Nisa.
Sebagai contoh ilmuwan islam yang lahir di baghdad bernama Al Khawarizmi mengembangkan ilmu Aljabar dengan tujuan untuk memudahkan menghitung warisan secara akurat. Mengingat hukum waris islam sangat ketat sesuai dengan pedoman Al Quran dan As Sunnah, berbeda dengan hukum waris sekuler yang banyak kita lihat di sinetron-sinetron.
***
Nah, penjelasan saya yang panjang kali lebar tadi dapat disederhanakan bahwa kita dapat menikmati Al Quran dengan ilmiah berlandaskan metode sains islam. Selama perjalanannya nanti, saya akan mengajak njenengan semua menikmati Al Quran dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit-mit, hehe. Semoga kita panjang umur dan dapat bertemu kembali.
Penulis: M. Yusril Ihza Mastury, Mahasiswa S2 Prodi Kimia Universitas Airlangga, Guru sekaligus alumni angkatan pertama SMA Trensains Tebuireng, Salah satu kader PMII Rayon Pencerahan Galileo.