Tempat Basah

Share artikel ini

Reading Time: 2 minutes

Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, hampir sama ruwetnya dengan Pemilu 1955. Konon begitu, tapi ini belum kesimpulan.

Bahkan ada sebagian peserta Pemilu menganggap, ini adalah Pemilu paling brutal. Dan yang bisa menilai adalah peserta yang telah mengikuti beberapa Pemilu sebelumnya.

Tetapi Pemilu sudah usai. Hanya menyisakan sejumlah kecil sengketa Pemilu Legislatif di meja Mahkamah Konstitusi (MK).

Itupun akan segera berakhir. Karena yang kalah harus segera ditetapkan. Dan yang beruntung segera diputuskan.

Hidup harus tetap berlanjut. Negara harus berjalan. Jadi, tidak bisa ditunda lagi. Jangan sampai terjadi kekosongan kekuasaan.

Demokrasi yang kita putuskan sebagai jalan hidup bernegara, bisa terancam bahaya. Jalan panjang kampanye, persinggunggan kata antar media, eh mulut, harus dilupakan. Setidaknya disimpan.

Segala kerugian harus ditanggung dengan lapang dada. Meski sambil menekuk muka.

Cuci piring sepatutnya segera dilakukan, entah oleh siapa. Bagaimana tidak? Sebagai bagian dari perjalanan hidup. Pertarungan berikutnya harus segera disiapkan.

Baca Juga:   Perempuan Masak Gitu?!

Pemenang harus bertarung dengan pemenang. Untuk menjadi pemenang berikutnya. Juga untuk menambah daftar panjang deretan yang kalah.

Memang ada ungkapan; Perang adalah perebutan kekuasaan dengan kekerasan, senjata dan darah, sedang Pemilu adalah peperangan tanpa senjata.

Dan… Dan yang kalah hidup berkalang tanah, berjibaku melawan kenyataan. Tak perlu terlalu risau. Memang banyak yang kalah. Tetapi yang mengiba pura-pura kalah tak kalah banyaknya.

Dan kadangkala ratapannya lebih menggema dibanding pasar di samping alun-alun kota kita ini. Sesekali tengoklah buku “Babat Tanah Jawi”. Perjalanan sejarah kita ternyata berbahan bakar darah pertikaian dan perselisihan.

Dari nama besar Bangsa yang menguasai perairan dunia. Hingga apa? Hingga berkeping menjadi puing-puing kerajaan kecil. Dan terus mengecil, dengan metode perebutan pengaruh dan kekuasaan.

Dari Majapahit, Mataram hingga Pajang. Dari Raden WIjaya hingga Pangeran Hadiwijaya. Bahkan kini, hingga kita. Mari kita lihat. Paska Pilpres, perebutan kue sudah dimulai.

Baca Juga:   JALAN SPIRITUAL PUISI JOKO PINURBO

Jika boleh, mari kita istilahkan berebut harta rampasan perang. Kasar?. Baiklah, mari kita sebut, berlomba ikut mengelola Negara dan memakmurkan rakyatnya. Siapa berhak mendapat apa. Siapa berambisi duduk pada sisi mana.

Akan selalu ada pahlawan kesiangan. Akan selalu ada yang memilih menepi dengan luka perang yang masih basah. Berkelok panjang dinamikanya, ujungnya tertutup kabut.

Hanya di Pilpres? Tentu tidak.

Kita semua pasti meyakini, pada semua level. Contoh Terbaru, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Dan yang agak lama tapi masih hangat adalah Pemilihan Bupati (Pilbup).

Terlihat belum selesai cuci piringnya. Sayup terdengar, ada gelas pecah juga. Minuman tumpah tak terteguk. Dan terdengar hingga tepi Bengawan.

Bagi para kaum “Baper”, gelas pecah saja bisa diolah menjadi drama yang mengharu-biru. Dituturkan menggebu-gebu dari mulut ke mulut. Seolah telah terjadi kegentingan yang luar biasa.

Bahkan bisa dilakukan oleh mereka yang tak pernah melihat “beling” tersebut. Mungkin juga oleh orang yang merasa paling pahlawan, tapi tak kunjung mendapat medali. Dan terlalu sering berandai-andai.

Baca Juga:   Teknologi untuk Mengeruk Kebebasan Finansial, Bukan Zamannya Lagi

Pernah dengar riwayat Kebo Ijo kan? Itu.. Cerita pembuka sebelum Singasari berdiri. “Nek aku, mending milih dadi menteri PU Dhe,” ungkap sarjana muda yang masih menganggur di sebuah warung kopi.

“Koki so?”

“Soale akeh proyek. Mbangun Tol Dhe. Nek kowe milih opo Dhe?,”

“Opo-opo ndah, penting tempat basah,”

“Sing akeh ceperane ngunu Dhe?!,” “Hora!”

“Lha piye?” “Yo sing basah pokoke.

Contone, nang PDAM. Akeh banyune. Mesti iku tempat paling basah.” Sarjana muda itu wajahnya berubah kecut seketika. Hendak meneguk, ternyata cangkirnya kering tinggal ampas kopi.

Selepas menaruh uang Rp 3 Ribu di dekat cangkir tanpa tangkai pegangan, dia pergi dengan langkah gontai memanggul tas kosong. Diantar tawa terkekeh-kekeh pria paruh baya yang keningnya berkerut, bertingkat seperti anak tangga.

Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya oleh Mustakimra


Share artikel ini

Recommended For You

Tulis Komentar